Sabtu, 05 April 2008

Partai Keseringan Berantem (PKB)

Babak baru konflik ditubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kembali ditabuh. Berdasarkan rapat gabungan dewan syuro dan tanfidziah, mayoritas meminta agar Muhaimin Iskandar mengundurkan diri dari ketua umum PKB. Konflik ini kemudian membuat partai ini terbelah, 15 DPW menyatakan menolak mundurnya Muhaimin dan 10 DPW menyatakan setuju.

Sejak didirikan, PKB selalu saja dirundung konflik internal dan seringkali berujung pada perpecahan. Tahun 2001, Matori Abdul Jalil, Ketua Umum PKB yang sebelumnya anak emas Gus Dur ini dipecat karena mengabaikan perintah partai untuk tidak mengikuti Sidang Istimewa yang menurut Gus Dur tidak sah.

Empat tahun kemudian, duet Alwi Shihab dan Gus Ipul dipecat setelah bersengketa mengenai keabsahan kepengurusan DPP PKB hasil Muktamar di Semarang yang menghasilkan keputusan Gus Dur-Muhaimin Iskandar sebagai pucuk pimpinan PKB.

Tidak hanya itu, nama-nama mentereng seperti Khofifah Indar Parawansa, AS Hikam, Khoirul Anam dan Lukman Edy juga secara bertahap dipreteli oleh jajaran orang-orang kuat di PKB. Nama-nama tersebut kemudian banyak yang melakukan perlawanan hingga ke meja hijau.

Seringnya konflik yang mendera PKB membuktikan betapa terjalnya jalan PKB menjadi partai modern dan mengusung sportivitas dalam memutuskan sebuah kebijakan partai. PKB masih tradisional dengan Gus Dur sebagai tokoh sentralnya.

Tidak ada satu tokoh pun di PKB yang mampu menandingi kedigdayaan mantan presiden ini. Konsekuensinya, apa kata Gus Dur itulah sikap PKB. Biarpun Gus Dur mengatakan warna langit itu kuning, maka PKB ”wajib” mengatakan kuning. Begitulah ungkapan yang kira-kira sangat tepat untuk menggambarkan kondisi PKB saat ini.
Dari Feodal Ke Rasional
Sosiolog Max Weber mengatakan, tipe kepemimpinan tradisional dengan mengandalkan kepemimpinan kharismatis merupakan tipe yang paling buruk karena mengacu pada kepemimpinan absolut di zaman feodal. Kepemimpinan tradisional akan menghambat demokratisasi dan akan selalu kalah dalam kancah persaingan regional maupun global. Kepemimpinan tradisional juga akan mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah-masalah bangsa seperti anti-nasionalisme, separatisme, primordialisme bahkan radikalisme.

Pembebasan partai-partai politik dari budaya kepemimpinan rasional harus dimulai oleh para kader partai politik itu sendiri dengan mengubah platform organisasi dan mindset kepemimpinan partai. Hanya saja, memang tida mudah upaya-upaya seperti ini bisa sukses terimplementasi namun upaya yang terus-menerus pasti akan membuahkan hasil. Jika partai-partai politik sudah memiliki kepemimpinan rasional maka diharapkan akan mengimbas ke kepemimpinan nasional(pemerintahan).

Dengan demikian, para pemimpin di pemerintahan, lembaga-lembaga tinggi negara, dan lain-lain akan lebih rasional dalam memecahkan masalah-masalah bangsa. Namun, perjuangan membebaskan partai-partai politik dari kepemimpinan tradisional-feodal bukan perkara yang mudah. Hambatannya sangat besar karena datang dari para pemimpin tradisional bersangkutan.(Sukowaluyo:2006)

Ke depan, jika PKB masih memilih menggunakan tipe kepemimpinan tradisional untuk menjalankan organisasi modern, maka proses regenerasi akan berjalan lamban dan tidak mustahil akan ditinggalkan konstituennya. Kepemimpinan di PKB yang feodal selayaknya dibuang jauh-jauh karena memang sudah tidak compatible lagi dengan zaman di mana semua aspek kelembagaan dan keorganisasian sudah harus dikelola secara modern dan rasional.
PKB harus segera merombak sistem yang ada dengan mengusung nilai-nilai kolegialisme dan obyektif. Bukan bergantung pada ketokohan personal. Pasalnya, tujuan Parpol tidak hanya mengeruk suara melainkan menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat. []