Kamis, 30 Oktober 2008

Melatih Kebiasaan Berinfaq



Beberapa waktu lalu ada sebuah kisah unik di internet yang membuat saya tertarik untuk menyampaikannya kepada pembaca setia Oase. Ini merupakan kisah nyata dari si Fulan yang mengaku pernah mengalami kecelakaan yang sangat mengerikan. Logika manusia berkata bahwa seharusnya ia meninggal, tetapi tidak. Dia selamat dan hanya mengalami luka ringan saja.
Si Fulan berkata, ”saya tertabrak mobil dan terpental dari kendaraan lalu jatuh di dekat ban mobil yang menabrak saya. Saya merasakan rambut terjambak oleh ban mobil.” Di balik kisah itu, dia bertanya-tanya, ”Apakah karena itu?”. Fulan itu bercerita bahwa di tengah perjalanan dia melihat seorang pemulung yang sudah tua, yang sedang sibuk membongkar sampah.
Karena iba, si Fulan merogoh koceknya dan dia berikan semuanya kepada pemulung itu. Mungkin kita anggap bahwa itu adalah keselamatan diri karena sebuah kebetulan. Tapi, tidak ada yang namanya sebuah kebetulan di dunia ini. Semua merupakan settingan dari Allahu Akbar.
Saya kemudian berandai-andai jika kaum muslimin kaya setiap harinya berinfaq pasti tidak ditemukan kaum miskin di negeri ini seperti yang pernah terjadi di zaman khaliah Umar Bin Abdul Aziz. Namun khayalan memang benar-benar khayalan, semangat berinfaq kaum muslimin masih jauh dari optimal. What’s wrong?

Ada tiga poin yang bisa saya sebut mitos mengapa kaum muslimin masih enggan untuk berinfaq. Pertama, infaq akan mengurangi atau bahkan menguras harta kita. Logika ini yang saya kira menjadi momok menakutkan dan menghalangi kita untuk berinfaq dan berzakat. Su’udzon yang lebih parah adalah ketika akan berinfaq, terlintas dalam pikiran kita “Aah jangan-jangan ini buat mabuk?!, uang ini nanti dipakai buat judi dan aneka maksiat lainnya?!”.

Pemahaman atau logika yang seperti ini direkam oleh Allah dalam sebuah ayatnya “Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata."(QS Yaasin:36)

Mitos kedua adalah, infaq tidak akan membuat kita kaya. Secara matematis, memang rezeki kita berkurang tatkala kita berinfaq atau bersedekah kepada orang lain. Apalagi, jika infaq kita berupa barang yang berharga jual tinggi. Hanya saja, dalam beragama kita tidak saja menerima begitu saja apa yang dihasilkan oleh akal kita. Banyak peritiwa yang diluar kemampuan akal kita dan hanya bisa dilakukan oleh Allah semata. Allah berjanji dalam surat As Saba tidak akan memiskinkan siapa saja yang hobby bersedekah.
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)." Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (Saba;39)

Ketiga, jamak diantara kita mengatakan Infaq hukumnya sunnah. Artinya, jika dilakukan berpahala, jika tidak melakukan juga tidak mendapat dosa. Hukum tersebut memang betul dan bisa dijadikan alasan untuk tidak berinfaq.

Hanya saja, menjadi sangat berbahaya jika semua orang di negeri ini memilih untuk tidak berifaq hanya karena hukumnya yang sunnah. Kemiskinan, kriminalitas, bunuh diri bermotif ekonomi begitu menjamur di negeri ini. Menjadi sangat ironis, jika kita tidak berkontribusi untuk membenahi kondisi tersebut. Dengan berinfaq, baik secara langsung ke mustahiq atau melalui pengelola infaq akan mengurangi duka lara kaum papa di lingkungan kita.
Ketiga logika tadi sungguhlah tidak tepat jika kita mengaku sebagai kaum muslimin. Karakteristik kaum muslimin dengan dengan sesamanya ibarat---kata Rosulullah SAW--- sebagai satu tubuh. Jika tangan kanan terluka, maka tangan kiri harus siap membantu. Apalagi infaq tidak mengenal kata nishob atau batas minimal harta yang dimilki calon munfiqin. Berapapun harta yang kita miliki bisa kita manfaatkan untuk membenahi umat ini.
Dengan demikian marilah kita biasakan berinfaq berapapun harta yang kita punya. Karena dengan berinfaq seseungguhnya akan menjauhkan kita dari bala dan yang lebih penting lagi adalah membuat jiwa kita bersih dan mendatangkan pahala dari Allah. []

Jadilah Guru Berkarakter Qur’ani


Saat tulisan ini ditulis, sebuah media cetak terbesar di Jawa Timur menurunkan berita malam Grand Final Pemilihan Guru Ideal (PGI) Untukmu Guruku 2008. Dalam berita tersebut diinformasikan, dari seribu guru yang mendaftar, akhirnya terpilih enam finalis pada malam itu. Saat nama pemenang satu persatu dipanggil, suasana tegang berubah menjadi suka cita dan rasa syukur begitu pengumuman para pemenang. Bahkan, satu per satu guru yang dinyatakan sebagai pemenang langsung sujud syukur di panggung

Hajatan atau penghargaan seperti diatas saya kira patut untuk kita apresiasi dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun swasta di tanah air. Bukan persoalan karena banyak peminatnya, melainkan sebagai pemicu untuk memupuk rasa cinta terhadap guru. Guru harus senantiasa dihargai karena memang jasanya yang begitu besar membangun bangsa.

Dewasa ini, sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, semakin banyak sebutan sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru pejabat mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”, “guru sebagai jabatan profesional”, ’’guru itu digugu dan ditiru““guru sebagai sumber teladan”, “guru sebagai pengukir masa depan bangsa” dan sebagainya. Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya.

Namun, pada kenyataanya pencitraan guru selama ini cenderung dianggap sebagai profesi kelas dua. Sebagian besar orang tidak mau menjadi guru, kecuali karena kepepet alias daripada menganggur. Ada anggapan seakan siapa pun yang sudah mengantongi ijazah sarjana bisa menjadi guru asal dia mau. Pekerjaannya juga mudah, hanya pagi datang, mengajar, siang sudah bisa pulang. Profesi guru cenderung dianggap gampang.

Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Tanpa guru, proses pendidikan akan timpang.

Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru. “No teacher no education, no education no economic and social development” demikian prinsip dasar yang diterapkan dalam pembangunan pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat bapak bangsanya yaitu Ho Chi Minh. Untuk itulah, jika pendidikan ini ingin terus berkembang pesat salah satu syaratnya menjadi guru yang berkualitas tinggi, tidak “kacangan” dan asal-asalan..

Bagaimana menjadi guru yang seperti itu? Believe it or not, menjadi guru yang high quality dan pada akhirnya bisa digugu dan ditiru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak variabel yang mendasari kenapa guru bisa digugu dan ditiru. Ada tiga prinsip yang setidaknya bisa terinternalisasi didalam jiwa tiap guru supaya menjadi lebih baik. Pertama, menjadikan Alqur’an sebagai landasan filosofis pendidikan. Falsasafah Al Qur’an mengkaji reasi-relasi antar sesama manusia, manusia dengan makrokosmos, manusia dengan sang pencipta. Dalam pengertian bahwa pendidikan berusaha memelihara individu dan pertumbuhannya. Al Qur’an memandang manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia diantara makhluk-makhluknya dengan memberi perhatian yang besar kepadanya.

Kedua, perbaikan akhlak sebagai inti pendidikan. Pendidikan akhlak merupakan sisi lain dari pendidikan Nabi yang menjadi jiwa dari pendidikan muslim. Para pakar pendidikan Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran tidak sebatas memenuhi otak anak didik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Tujuan menanamkan pendidikan akhlak adalah menanamkan rasa fadillah (keutamaan) Islam menuju kehidupan yang santun dan bermartabat.

Mu’adz ibn Jabal menceritakan bahwa wasiat terakhir Nabi yang ia terima adalah ketika Muadz menyilangkan kaki diatas pahanya, Nabi menegurnya. “Wahai Muadz, perbaikilah akhlakmu terhadap manusia.” Anas Ibn Malik menceritakan, Rosulullah SAW berkata, “janganlah kamu saling marah, saling dengki dan jangan saling membelakangi. Jadilah kamu hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam.”

Ketiga, Alqur’an sebagai kurikulum. Karena Alquran merupakan landasan teoritik, maka prinsip-prinsip Al Qur’an membentuk faktor integral yang menyatukan materi kurikulum yang berbeda-beda. Dalam Al Qur’an tidak didapatkan istilah religius dan sekuler bagi cabang cabang ilmu. Seluruh subyek ilmu, termasuk ilmu-ilmu alam harus diajarkan dari visi Al Qur’an. Dikotomik ilmu, dengan demikian tidak dikenal dalam Islam.

Ketiga prinsip inilah yang saya kira perlu dipahami oleh para guru yang tiap tahun jumlahnya cenderung meningkat. Jangan sampai menjadi guru merupakan pilihan terakhir karena gagal masuk ke profesi lain yang mengibatkan kinerja kita akan asal-asalan dan tidak profesional di mata Allah. Guru tetaplah profesi mulia yang melahirkan para ulama dan umara di negeri ini. Maju terus wahai guru. []

Kita, Diantara Kemiskinan dan Pemiskinan

Syahdan, di sebuah laboratorium medis di negeri Adidaya, sedang digelar lelang otak manusia dari berbagai negeri. Dokter A menawarkan otak orang Jerman. Pasalnya, sudah sejak lama memilki tradisi dan karakter yang kuat dalam memajukan bangsa. Banyak mobil diproduksi disana, pesawat terbang dan alat transportasi lainnya. Dokter B punya pendapat berbeda. Dia menyodorkan otak orang Jepang saja, karena punya disiplin tinggi, pekerja keras dan tidak gampang nyerah. ”Kedepan kita butuh manusia dengan soft skill berkualitas. Jepang juga banyak menhasilkan kendaraan,” kata dokter Jepang.

Tiba-tiba ada seorang dokter menawarkan otak orang Indonesia, namun dengan harga yang jauh lebih mahal dari kedua otak sebelumnya. ”Ini saya tawarakan mulai 5 juta dollar,”kata dokter C. Para peserta dibuat terbengong-bengeong karena mengangagp nggak ada yang bagus dalam otak orang Indonesia. ”Daya kreatifitasnya rendah, nggak memproduksi teknologi apapun kok dijual mahal,” kata dokter asal Jepang. Dokter C menjawab dengan diplonatis bahwa otak orang Indonesia ini nggak pernah dipakai. ”Otak orang Indonesia masih orsinil, karena nggak pernah dipake,”kata Dokter C. Singkat cerita, otak Indonesia laku keras karena masih orsinil.
Mungkin pembaca sudah pernah mendengar atau membaca anekdot tadi. Jelas sekali bahwa bangsa ini---melalui anekdot-- tadi disindir sebagai bangsa yang tidak mau menggunakan otaknya untuk membangun negeri. Itulah sebabnya, kemiskinan seolah sudah mendarah daging di negeri ini. Padahal sudah sejak lama bangsa ini dikenal sebagai daerah yang gemah ripah loh jinawi.
Arinya, bumi pertiwi ini telah dihadiahi tanah subur, jumlah penduduk yang besar dan kaya akan sumber daya alam oleh Allah SWT. Bahkan, saking suburnya tanah di negeri ini, ada yang berkelakar membuang biji salak di belakang rumah pun akan tumbuh dengan sendirinya tanpa ada maintenance dari empunya kebun di belakang rumah. Yang empunya kemudian tinggal memetik buahnya.

Namun kenapa masih bertebaran kaum papa di negeri ini? apakah ini tanggung jawab pemerintah dan kita menunggu belas kasihan dari pemerintah? Sebagai kaum muslimin, tentunya akan lebih memilih bagaimana bekerja keras untuk menutupi kemiskinan ini daripada menunggu program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan.

Persoalannya, dalam hemat saya, budaya bangsa ini tampaknya tidak mendukung dalam upaya menumbuhkan kepercayaan diri untuk menjadi kaya. Sejak dini kita sudah dibiasakan agar terjadi proses pemiskinan terhadap diri sendiri.

Pemiskinan dapat diartikan suatu proses yang berlangsung secara sistematis dan terus menerus sehingga seseorang menjadi miskin dan itu terjadi bukan kehendaknya. Seperti yang dibedah dalam edisi ini secara tidak sadar telah menjangkiti relung-relung mental kita. Sehingga, bisa ditemukan dalam lingkungan kita, terutama saat BLT mulai dicairkan, sebagian saudara kita lebih bangga menjadi miskin dan berlomba-laomba mendapat dana 300 ribu rupiah. Padahal jika ditelisik lebih jauh dan ini adalah fakta di kampung halaman saya, ada beberapa warga tersebut telah berkecukupan secara materi. Sekali lagi, bangsa ini ternyata lebih suka disebut miskin daripada kaya.

Mental Inlander

Sebagai kaum muslimin, kita hendaknya membuang mental-mental inlander seperti ini. Tdak ada negara yang bisa maju jika rakyatnya merasa miskin kreatifitas . Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, janganlah mengukur rizki yang kita peroleh dengan besaran uang saat ini, karena ada keuntungan psikologis yang terus lekat menjadi kekayaan sejati setelah anda berbuat penuh makna bagi kehidupan sesama. Ketiga, biasakan merenung bila mulai jadi pengeluh dan peminta-minta, agar engkau menemukan kebesaran hati dan kepercayaan diri untuk menjadi makmur penuh syukur. Keempat, ikhlaskanlah apa yang kita miliki bila terpaksa harus hilang atau diambil seseorang, karena besarnya kekayaan ditentukan oleh seberapa besar rasa ikhlas kita.
Kelima, berbagi rahasia sukses dan pikiran positif kepada siapapun yang membutuhkan agar banyak orang termotivasi dan dapat meraih keberhasilan dalam hidupnya.[]