Jumat, 14 Maret 2008

Negara Butuh Anak Sekolahan




Panitia Khusus DPR RI kini tengah beradu argumentasi menggodok RUU Pilpres 2009. Seperti diberitakan harian ini, beragam sekali manuver dari tiap-tiap Parpol untuk menggolkan kepentingan masing-masing. Salah satu syarat yang ramai dibicarakan adalah mengenai calon presiden minimal sarjana. Rasionalisasi bagi kubu pendukung minimal S-1, persyaratan ini penting karena tantangan presiden RI ke depan semakin berat sehingga lulus sarjana merupakan suatu kebutuhan.(JP,13/03).
Batasan minimal jenjang pendidikan bagi seorang calon presiden adalah perkara wajar untuk diperdebatkan. Pasalnya, dengan tingkat pendidikan tersebut, masyarakat bisa memahami seberapa berkualitas calon yang diusung. Ironisnya, ketika persoalan itu diangkat di Indonesia, sebagian politisi menilai gagasan ini hanya untuk menjegal salah satu calon tertentu.
Dugaan itu jauh panggang dari api. Secara faktual, persyaratan bagi calon presiden agar minimal menempuh pendidikan S-1, adalah suatu hal yang semestinya diapresiasi. Bagaimana mungkin, seorang presiden yang membawahi menteri-menteri profesional adalah lulusan SMA yang kadar intelektual jauh dari jajaran dibawahnya.
Memang, pendidikan bukanlah parameter utama untuk memutuskan apakah calon tersebut berkualitas atau tidak. Namun, setidaknya calon tersebut memiliki visi yang jelas kemana arah bangsa ini akan dibawa, dan orang berpendidikan tinggi tentu pola pikirnya berbeda dengan calon lulusan sekolah menengah. Pendidikan yang baik akan membentuk karakter yang kuat dan wawasan yang luas sebagai prasyarat mutlak sosok pemimpin.
Selain postulat tadi, ada beberapa catatan penting kenapa presiden 2009 minimal sarjana, Pertama, seiring perkembangan pendidikan yang kian pesat, Perguruan Tinggi tidak hanya dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya.
Namun, institusi pendidikan tinggi sudah mulai menjalar ke kabupaten dan beberapa kecamatan. Hal ini membuktikan bahwa Perguruan Tinggi bukanlah barang langka dan sulit untuk diakses masyarakat seperti 30-40 tahun silam.

Masyarakat kecil pun sekarang sudah semakin paham bahwa tingkat pendidikan seseorang bisa berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang, terutama dalam mencari pekerjaan. Sehingga banyak diantara mereka yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya hingga Perguruan Tinggi.

Data jumlah pengangguran di Indonesia, kaum sarjana paling sedikit diantara jenjang pendidikan dibawahnya. Artinya, kaum sarjana lebih kompeten dalam mengelola hidup dibanding kaum lulusan sekolah menengah. Meskipun ada catatan, seseorang dapat merintis wirausaha yang sukses dan menempuh profesi yang jempolan pada saat masih kuliah. Dengan lulus sarjana, diharapkan calon presiden juga mampu mengelola rakyatnya.

Kedua, kebutuhan pasar. Tidak bisa dipungkiri, tingkat pendidikan menjadi persyaratan yang dibutuhkkan dalam sebuah organisasi besar seperti perusahaan profit, LSM dan Organisasi Masyarakat skala nasional. Hingga saat ini sedikit ditemukan, organisasi besar yang diduduki oleh pimpinan tamatan sekolah menengah. Kalaupun ada, dalam perjalananya sang pemimpin itu akan melanjutkan studi hingga tingkat sarjana guna mengimbangi posisi karyawan atau anak buahnya.

Kedudukan presiden memang jabatan politis, namun tingkat pendidikan tetap vital untuk dijadikan kriteria dengan alasan kebutuhan pasar yang membutuhkan pola pikir dengan kadar inteletual yang tinggi. Singkatnya, menjadi direktur dan mengurusi satu perusahaan saja minimal sarjana, apalagi menjadi presiden yang mengurusi 220 juta orang?

Ketiga, bercermin pada kualitas beberapa anggota dewan (rata-rata DPRD) yang hanya lulusan SMP/ SMA, ternyata kinerja mereka cukup mengecewakan dan moralnya cukup diragukan sehingga banyak ditemukan wakil rakyat terlibat skandal moral atau penyimpangan kekuasaan. Gejala buruk ini memang tak bisa disimpulkan hanya akibat pendidikan yang rendah, tapi sekurang-kurangnya proses pendidikan dapat mencegah segala bentuk penyimpangan moral dan politis. Jika fenomena berbeda yang terjadi, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin besar tingkat penyimpangannya, maka kita harus mengevaluasi total proses pendidikan yang berlangsung saat ini. Apa yang salah dengan pendidikan nasional kita.
Kita masih menemukan kasus pejabat atau tokoh masyarakat yang ternyata mengantongi ijazah palsu. Padahal, dia telah menduduki jabatan prestisius yang mensyaratkan pendidikan tertentu. Kenyataan ini menujukkan sebagian masyarakat telah salah mempersepsi fungsi pendidikan. Saya juga tidak mengatakan bahwa Capres atau calon pejabat tinggi tamatan sekolah menengah tidak memadai kadar moral dan intelektualnya. Namun hal itu menunjukkan, selama ini jabatan presiden dan wakil rakyat dianggap sebagai jabatan politis semata tanpa memperhatikan unsur pendidikan politik kepada rakyat.

Persyaratan calon presiden minimal S-1 merupakan wahana untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat bahwa presiden bukanlah jabatan politik semata, melainkan sebagai cara untuk memberikan teladan dan penanaman nilai-nilai moral.

Hindari Politik Dagang Sapi
Mengaca pada pemilu 2004, ternyata pembahasan mengenai RUU Pemilu sarat dengan politik dagang sapi. Konsekuensinya, obyektifitas dan rasionalitas RUU Pemilu menjadi lenyap dan dikalahkan oleh kepentingan segelintir Parpol. Misalnya, partai besar mengusulkan Capres-Cawapres adalah yang memperoleh suara 20-30% pada Pemilu legislatif. Bagi Parpol yang merasa kecil mengusulkan pasangan capres-cawapres minimal memperoleh 5%. Sementara itu, partai yang calonnya sarjana mensyaratkan pasangan Capres-Cawapres minimal berpendidikan sarjana. Dan terjadilah politik dagang sapi tersebut dimana satu kubu politik menawarkan persyaratan 3% kursi atau 5% perolehan suara, kubu lain "membelinya" dengan diperbolehkannya mereka yang berijazah setingkat SMA untuk bisa dicalonkan.
Untuk itu, pada Pemilu 2009 produk UU yang obyektif dan lebih menjanjikan capres berkualitas tinggi harus lebih ditonjolkan daripada kepentingan elite parpol. Walaupun kita bisa menwarkan mekanisme win-win solution bagi setiap Parpol tanpa mengorbankan kualitas pemimpin yang dihajatkan rakyat. Tingkat pendidikan minimal S-1 merupakan pilihan obyektif dan rasional sehingga tidak diperdebatkan lagi.
*Dody Firmansyah
Pemerhati Sosial Politik,
Pengelola Lembaga Penelitian Aksara Media Communication, Surabaya

Rabu, 05 Maret 2008

Zakat Sebagai Solusi Terbaik

Di bulan Ramadhan ini seruan agar umat Islam segera menunaikan kewajiban berzakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan mustahiq zakat semakin gencar. Berbeda dengan empat rukun Islam lain, zakat sebagai sebagai salah satu rukun Islam memang memiliki ciri khas tersendiri karena zakat tidak hanya berdimensi vertikal– yaitu hubungan ibadah kepada Allah SWT – tetapi juga berdimensi horizontal yaitu hubungan ibadah terhadap sesama manusia.
Seruan ini pun ditanggapi positif oleh kaum muslimin. Semakin mendekati akhir Ramadhan, semangat masyarakat untuk membayar zakat semakin tinggi. Fenomena ini ditandai dengan menjamurnya jumlah muzakki yang membayakan zakatnya melalui sejumlah lembaga pengelola zakat. Ini merupakan sebuah kabar gembira tak terkecuali bagi dunia pendidikan. Dengan semakin banyaknya perolehan dana zakat oleh lembaga pengelola zakat, semakin tinggi pula dana yang bisa dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Sektor pendidikan merupakan fokus garapan utama selain pemberdayaan ekonomi bagi hampir semua lembaga pengelola zakat. Oleh lembaga zakat, sektor pendidikan ini umumnya ditawarkan dalam berbagai bentuk program, seperti beasiswa, sentra pendidikan mandiri, upgrading guru dan sebagainya.
Potensi Zakat
Menyelesaiakan permasalahan pendidikan di Indonesia melalui zakat memang bukan hal yang mustahil bahkan justru sangat potensial untuk dikembangkan. Eri Sudewo seorang Social Entrepreneur sekaligus praktisi zakat pernah mengkalkulasi potensi zakat di Indonesia. Jumlah kaum muslimin adalah 180 juta. Jika separuh Muslim diasumsikan miskin, berarti ada 90 juta yang kaya.
Jumlah 90 juta Muslim kaya adalah data perorangan. Data jiwa ini harus dijadikan keluarga. Asumsikan dalam satu keluarga, diisi 3 anak dan ibu bapak. Angka 90 juta jiwa dibagi dengan 5 anggota keluarga. Maka kini ada 18 juta keluarga Muslim kaya di Indonesia.
Jika didasarkan pada kewajiban zakat Rp 100 ribu per bulan. Berarti penghasilan muzakki berkisar Rp 4 jutaan. Himpunan zakat terkecil dari potensi ini mencapai Rp 180 miliar per bulan yang dengan jumlah muzaki 10 persen dari 18 juta Muslim. Total setahun Rp 2,16 triliun. Lantas, jika 16,2 juta Muslim kaya mau berderma Rp 100 ribu, per bulan zakatnya Rp 1.8 triliun. Setahun mencapai zakat Rp 21,6 triliun. Sebuah angka yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dari kalkulasi yang cukup luar biasa tersebut, terbayang nyata keutamaan zakat sebagai solusi. Zakat benar-benar menjadi instrumen orang-orang kaya untuk membantu mengatasi kebutuhan asasi orang-orang miskin. Zakat juga berfungsi menjaga keseimbangan kehidupan. Memutus kesenjangan ekonomi itulah yang menjadi salah satu hikmah dari kewajiban berzakat. Dengan demikian, maka bukan mustahil biaya sekolah penduduk miskin bisa digratiskan. Dan amanat UUD yang menyatakan bahwa 20 persen anggaran digunakan untuk pembiayaan pendidikan bisa tertutupi dengan zakat ini.


Namun, ironisnya kalkulasi tadi hanya sebatas angan-angan. Berbagai macam persoalan pelik masih terjadi sehingga mengakibatkan pengelolaan pendidikan masih compang camping. Permasalahan itu diantaranya, Pertama, saat ini potensi zakat yang sangat besar itu belum optimal pengelolaannya. Me¬¬nurut Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Zakat Nasional saat ini dari zakat hanya mencapai 10%, setahun dan hanya bisa terkumpul Rp. 1,7 triliun. Dengan dana yang cukup minimalis tersebut, tentu sangat sulit dibayangkan menuntut kemajuan pendidikan melalui zakat. Pasalnya, zakat tidak hanya dialokasikan untuk pendidikan saja, melainkan juga pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kegiatan-kegiatan dakwah lainnya. Semakin kecil persentase zakat yang terkumpul, otomatis persentase untuk pendidikan juga akan berkurang.
Kedua, masyarakat lebih suka untuk membayar zakat di masjid-masjid setempat yang menurut saya masih sangat konvensional dan memiliki jaringan yang terbatas dibanding dengan lembaga amil zakat profesional yang sudah memilki jejaring cukup luas baik lokal maupun nasional. Lembaga zakat merupakan metode yang paling mendekati dengan pengelolaan zakat di era Rosulullah SAW. Pada zaman nabi, zakat dikelola oleh negara yang dikenal dengan sebutan Baitul mal
Ketiga, masih minimnya political will dari pemerintah terkait dengan pengelolaan zakat. Dalam tataran payung hukum misalnya, yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia, pemerintah belum memberikan perubahan yang fundamental dalam menaikkan jumlah wajib zakat. Selain itu, dalam Pasal 9 disebutkan, dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya. Hal ini mengindikasikan, pemerintah seolah-olah memberi memberi pengawasan ketat kepada Lembaga Pengelola Zakat.
Dengan demikian, maka dibutuhkan sebuah sinergisitas antara masyarakat bawah, ormas Islam dan pemerintah untuk segera meningkatkan potensi zakat yang belum menyentuh orang kaya yang jumlahnya jutaan. Diharapkan, pengalokasian dana zakat pada sektor pendidikan mampu meringankan masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan.