Minggu, 30 September 2007

Setelah Menang Lomba, Lalu Apa?

Lomba penelitian mahasiswa semacam Pimnas, LKTM, PPKM dan sejenisnya merupakan ajang kompetisi paling bergengsi bagi mahasiswa Indonesia. Di sini, hasil karya finalis dari perguruan tinggi se-Indonesia dinilai, dikritisi, diadu. Proses seleksi yang harus dilalui para finalis sangatlah panjang dan berjenjang. Mulai dari seleksi antar jurusan tiap fakultas, kemudian antar fakultas tiap perguruan tinggi, dan antarperguruan tinggi yang tergabung dalam satu wilayah.
Guna mempersiapkan hal itu, para mahasiswa pun harus merelakan diri untuk begadang, mencari referensi ke berbagai tempat, konsultasi ke dosen dan sebagainya. Konsekuensinya, kesehatan semakin kurang diperhatikan dan waktu nongkrong pun terpangkas.
Tidak masalah memang, pengorbanan wajib diperlukan untuk meraih obsesi meraih kemenangan. Setelah kemenangan teraih, what next? Prestise dan menjadi populer seantero kampus sudah pasti menjadi hal yang akan dialami oleh pemenang lomba. Namun, beberapa bulan berselang, kemenangan yang ditorehkan ternyata dilupakan, hilang ditelan prestasi mahasiswa lain dan yang paling utama, belum (sempat ) bermanfaat bagi masyarakat.
Hasil riset mahasiswa saya lihat hanya dinikmati oleh peserta lomba dan masyarakat kampus peserta lomba. Masyarakat tidak tahu menahu akan siapa pemenangnya dan apa yang diteliti karena publikasi di media massa juga minimalis. Padahal, masyarakat perlu tahu apa manfaat riset tersebut. Misalnya, biji lamtoro dalam penelitian seorang mahasiswa ternyata bisa mencegah dan mengobati kanker. Nah, hal ini seharusnya bisa dipublikasikan ke khalayak ramai, bagaimana detail penggunaan biji lamtoro agar bisa menjadi obat. Jika tidak, maka tidak ada artinya penelitian mahasiswa.



Revitalisasi Tridharma PT
Fenomena diatas membuktikan bahwa penelitian, pendidikan dan akhirnya pengabdian (Tridharma Perguruan Tinggi) belum bisa diterapkan seiring sejalan dan perlu direvitalisasi. Terkait dengan lomba penelitian ini, unsur pengabdian masih minim dilakukan oleh perguruan tinggi. Yang paling bisa dirasakan mungkin adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan tidak lebih dari tiga bulan. Diluar kegiatan tersebut, karya mahasiswa masih belum menyentuh kebutuhan stake holder. Seyogyanya, pengabdian masyarakat itu sekedar dilakukan untuk memenuhi formalitas akademik. Sebab, keberadaan perguruan tinggi harus membawa manfaat bagi masyarakat.
Sungguh ironis jika di dalam kampus kajian-kajian keilmuan begitu bagus, tapi penduduk sekitar kampus masih ada yang buta huruf dan terbelakang. Jadi, ada kesenjangan dan ketimpangan yang parah. Untuk itulah, langkah pengabdian masyarakat harus dilakukan tanpa menunggu momentum akademik seperti KKN.
Demi menjunjung tinggi semangat Tridharma dan agar hasil penelitian yang dimenangkan dalam perlombaan tidak mubazir, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh para kaum intelektual pemenang lomba. Pertama, mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Pemenang lomba sudah sewajarnya menuangkan hasil penelitiannya agar bisa dikonsumsi khalayak. Dengan publikasi yang baik, maka hasil riset tersebut bisa diterapkan masyarakat dan bermanfaat. Jurnal ilmiah ini juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan.
Kedua, membuat prioritas penelitian. Selama ini peneliti memang cukup menumpuk di Indonesia, tetapi tetap saja arah penelitian yang berkembang baik di universitas maupun di lembaga penelitian belum mampu menciptakan sebuah trade mark tersendiri apa yang menjadi kompetensi dan kebutuhan bangsa Indonesia. Berbeda dengan Singapura yang meskipun sudah maju dari sisi penelitian, Singapura tetap memiliki prioritas di bidang Bioteknologi, demikian juga dengan Kuba atapun India yang juga fokus pada Bioteknologi selain IT nya. Nah dengan demikian diperlukan sebuah prioritas, riset mana yang diperlukan masyarakat. Misal, ketika harga BBM naik bagaimana upaya agar ada substitusi bahan bakar yang lebih murah meriah.
Dengan dua hal tersebut, saya yakin mahasiswa tidak hanya menjadi peneliti an sich, melainkan sudah mampu menjadi agent of change demi untuk mencerdaskan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Yang tidak kalah pentingnya, fenomena umum yang menyedihkan dalam sebagian besar pameran dan perlombaan karya-karya ilmiah adalah sangat minimnya karya yang telah disiapkan untuk mendapatkan hak karya intelektual. Karya-karya orisinil dan segar dari mahasiswa ini tidak terlindungi. Keadaan ini bisa dianggap ilegal atau sangat rawan terhadap penjiplakan. Keadaan itu bukan saja gambaran mahasiswa peserta lomba. Di kalangan dosen pun, kepedulian untuk melindungi hak karya intelektual masih belum berkembang. Ada banyak alasan, di antara biaya dan proses yang rumit. Akan tetapi, mengingat bahwa di banyak universitas tersedia pusat pengembangan hak karya intelektual, layak kalau perlindungan atas hak karya intelektual mendapat perhatian terhadap karya-karya ilmiah.
Persolan tadi tidak ada terselesaikan jika peran pemerintah masih minim terhadap dunia penelitian. Pemerintah harus terus menerus proaktif dengan cara memberikan perlindungan hak terhadap hasil karya mahasiswa. Dengan begitu, para mahasiswa akan terlecut semangatnya untuk meneliti dan tentunya akan bermanfaat bagi rakyat.

Pemuda: Zoon Politicon

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia
Syair Totalitas Perjuangan ini acapkali didengungkan mahasiswa tatkala berdemonstrasi di jalanan. Secara eksplisit, syair ini menujukkan bahwa kaum muda hampir selalu menjadi motor penggerak perubahan peradaban manusia dibelahan dunia manapun.

Demikian pula dengan keputusan Ketua Umum KNPI, Hasanuddin Yusuf mendirikan Partai Pemuda Indonesia (PPI) saya kira merupakan bagian dari iktikad dan ijtihad untuk menjadi motor perubahan ditengah permasalahan bangsa yang kian kompleks. Sebagai zoon politicon, manusia secara perorangan tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Manusia mesti berkumpul dalam komunitas,karena dengan inilah kata politik itu terlahir. Zoon Politicon ini kemudian berkembang dengan istilah ideolgy interest yang menganggap wajar hubungan organisasi pemuda sebagai ranah demokrasi mikro dengan Parpol sebagai ranah demokrasi makro.
Kekhawatiran sejumlah fungsionaris KNPI seperti akan terciptanya bias antara KNPI dan PPI, persolan etika organisasi, yang akhirnya berbuah ancaman dengan menggelar Kongres Luar Biasa untuk memilih ketua umum baru (JP,5/6/2007) merupakan tindakan berlebihan dan tidak proporsional.

Berdirinya PPI atas inisiatif ketua Umum KNPI merupakan hal yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai merusak tatanan KNPI. Kenapa demikian? Pertama, sudah tegas di dalam AD/ART KNPI bahwa tidak ada larangan sama sekali bagi semua kader KNPI termasuk ketua umum untuk menjadi pengurus partai politik.

Hal ini seyogyannya menjadi perhatian agar semua pihak menghormati keputusan bersama dan tidak membuat dalil baru sebagai pembenaran. Tidak adanya larangan tersebut bermakna bahwa Parpolbukanlah virus yang harus dihindari. Kedua, bukan rahasia lagi kalau ternyata KNPI memiliki hubungan yang sangat mesra dengan Parpol. Indikatornya, saat ini KNPI terdiri atas 70-an organisasi kepemudaan. Sembilan di antaranya adalah organisasi pemuda parpol dan ketua KNPI di daerah rata-rata adalah pengurus parpol. Demikian pula dengan OKP yang selama ini tergabung di KNPI seperti HMI, GMNI, dan PMII, Ketiga OKP ini tidak bisa dipungkiri memiliki kedekatan dengan Parpol tertentu.

Ini menunjukkan perselingkuhan politik antara KNPI dengan Parpol sudah terjalin begitu lamanya. Padahal, secara legal normatif KNPI bersifat independen. KNPI bukanlah underbouw dan mesin politik pemerintah dan parpol, KNPI adalah sebuah organisasi kepemudaan yang menghimpun semua kekuatan pemuda. Dengan demikian, rahasia hubungan KNPI dengan parpol harus dibuka dengan memberikan kebebasan anggota untuk aktif di Parpol sehingga tidak ada lagi kecemburuan satu sama lain. Namun, secara organisatoris KNPI harus tetap bebas dari kepentingan Parpol tertentu.

Ketiga, belum lama ini, seiring kegagalan pemerintah (baca:golongan tua) dalam mewujudkan agenda reformasi, banyak bermunculan parpol yang berbasis dan dilahirkan dari kalangan pemuda seperti Partai NKRI pimpinan Sys NS dengan mengusung jargon partai pemuda yang gaul dan fungky. Kemudian, selepas lengsernya Amien Rais menjadi ketua Umum PAN, elemen muda Muhammadiyah mendirikan Partai Matahari Bersatu (PMB) sebagai partai alternatif warga Muhammadiyah.

Fakta ini menggambarkan adanya kekecewaan kaum muda terhadap perkembangan bangsa terkahir yang kian memilukan. Dengan hadirnya Parpol berbasis pemuda, Dengan visi dan misi yang hampir sama, keinginan untuk mewujudkan agenda reformasi yang terbengkalai bukan sesuatu yang mustahil.

Politik Moral dan Kekuasaan
Selama ini, gerakan pemuda lebih dicitrakan sebagai gerakan moral yang mengusung nilai ideal, normatif yang berorientasi terciptanya nilai-nilai kebenaran, keadilan, humanisme profesionalitas dalam mengelola negara. Model gerakan pemuda terutama mahasiswa sebagai gerakan moral ini tidak mempedulikan siapa yang menjadi pemimpin. Model ini haram mendukung seseorang untuk menjadi pemimpin, tapi siapa pun pemimpin yang dzalim akan berhadapan dengan gerakan pemuda..
Seiring berkembangnya arus demokratisasi, tampilnya pemuda sebagai penggugah moral penguasa ternyata tidak begitu efektif dalam merubah kebijkan pemerintah. Demonstrasi di jalanan juga semakin tidak menarik lagi dan justru menjadi bahan cibiran karena tindakan yang terkadang anarkhis dan memacetkan arus lalu lintas.
Oleh karena itu, Fajroel Rachman menegaskan bahwa gerakan kaum muda seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rezim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan, tidaklah mungkin untuk mewujudkan cita-cita politik.
Fajroel Rachman bahkan menyarankan sebagian pergerakan mahasiswa dan pemuda pada umumnya mendirikan partai politik dan menjadi bagian gerakan politik intraparlementer dengan terlibat dalam kancah politik formal.
Dengan demikian, anggota KNPI hendaknya diberi keleluasaan untuk mendirikan atau bergabung dengan Parpol. Yang lebih penting, secara institusional KNPI tetap sebagai organisasi independen.

Mengajak Sholat Malah Ditertawakan

Hidup bersahaja, itulah sosok seorang Manager Personalia PT. Malidas Sterillindo yang bernama Mashuri. Sebagai Manajer Personalia perusahaan tentunya memiliki kewajiban untuk menjembatani kepentingan karyawan kepada perusahaan dan sebaliknya. Disela-sela tugasnya itulah, dia memanfaatkan waktunya untuk berdakwah di lingkungan perusahaan yang mempunyai lebih dari 200 karyawan. Bagaimana suka dukanya? Berikut uraiannya

Oleh: Dody Firmansyah


Peduli untuk berbagi adalah kata kunci saya dalam mengarungi hidup ini, berbagi ilmu dan pengalaman, berbagi kebahagiaan dengan orang lain dan berbagi rejeki merupakan sumber kebahagiaan yang berlipat-lipat. Saya ingin terus berdakwah dimana saja dan menghadapi siapa saja. Dan memang sebagaimana apa yang dikatakan Ibnu Qoyyim, Al Jauziyah bahwa, Janganlah membayangkan dunia dakwah itu bagaikan berjalan di rerumputan yang halus dan penuh wewangian, karena sesungguhnya jalan dakwah ini penuh onak dan duri. Saya merasakan betapa berat dan kuatnya hambatan saya dalam berdakwah.

Ditempat saya bekerja sekarang, saya mencoba untuk merasakan pahit manisnya dalam berdakwah. Tantangan menghunjam didepan mata dimana kondisi lingkungan yang jauh dari warna religiusitas, begitu kering. Pada saat perusahaan masih di Surabaya, saya pernah ditertawakan karena mengajak orang sholat. Saat itu, melakukan sholat merupakan suatu aktivitas yang aneh dan langka. Ketika saya berjalan menuju musholla saya sempat ada yang nyeletuk, "Wah anak pak Kiai mau sholat, ini pabrik bukan pondok pesantren,"sedikit kata yang tajam dan menusuk memang. Namun, hal itu tetap tidak menghalangi niat saya untuk beribadah.

Di bulan Ramadhan, ketika orang lain sibuk berlomba-lomba mengais pahala di bulan suci, justru karyawan disini tidak mempergunakan bulan ini sebagaimana mestinya. Hampir tidak ada bedanya dengan bulan-bulan lain, makan, minum di berbagai tempat tanpa ada rasa sungkan. Pada dasarnya, para karyawan berniat berpuasa ketika berangkat kerja karena memang sudah makan sahur, namun ketika sudah di depan pintu, diajak ngobrol dan akhirnya makan minum. Di perusahaan ini, orang yang sholat dan berpuasa bisa dihitung dengan jari.

Suatu saat saya pernah mencoba untuk bertanya alasan mereka tidak sholat, rata-rata mereka menjawab”Saya ini kotor pak, saya ini tidak pantas untuk sholat”, terus kapan bersihnya? tanya saya. Dia menjawab, ”Setelah menikah pak, Insya Allah. Teman saya yang lain sebut saja Fulan, malah menjajikan akan sholat dan beribadah tekun setelah memiliki anak. Alhamdulillah setelah menikah dan memiliki anak kedua karyawan tadi memenuhi janjinya.

Bertahun-tahun saya melakukan upaya untuk membuka kekosongan hati kawan-kawan agar segera melaksanakan perintah-Nya. Pengajian-pengajian rutin sudah diseleggarakan dengan peminat yang sebenarnya cukup lumayan. Namun, sekali lagi hal itu tidak lantas membuat mereka sadar dan segera bertobat. Mereka tetap tidak menjalankan sholat dan puasa. Padahal dalam materi itu sudah dijelaskan mengenai ancaman orang yang malas sholat, durhaka dan lainnya. Materi pengajian berkisar pada persoalan, kalau tidak surga maka neraka. Dan Waktu itu yang rutin mengisi acara bukan ustad kacangan. Ustad Sholeh Drehem (sekarang Ketua IKADI Jatim) dan Ust Rofi Munawar (Anggota DPRD) adalah diantara orang yang pernah ceramah di kantor. Setelah pengajian usai, mereka kembali bekerja dan sholatnya ketinggalan. Bahkan ada karyawan ketika sholat jamaah sudah dimulai, justru tidak mau bergabung untuk sholat dan memilih menunggu di depan masjid.

Tidak lama berselang, upaya dakwah itu ternyata mendapat dukungan dari owner perusahaan. Saya waktu itu mengusulkan kepada owner agar karyawan yang tekun sholatnya diberi hadiah. Dan akhirnya hal itu cukup berhasil membuat karyawan menjadi semakin banyak yang berduyun-duyun ke mushola ketika waktu sholat menjelang. Pendekatan dan sentuhan dakwah personalia inilah membuat karyawan yang memproduksi bedak ini merasakan bagaimana semestinya bekerja yang baik, semangat tiada henti dan mengharap ridho Allah SWT semata. Insya Allah kerja yang bernilai ibadah akan membawa rejeki yang barokah.

Pada prinsipnya dakwah itu harus dilakukan tanpa kenal henti, bersemangat, dan tidak pandang bulu. Mengutip dari sebuah perumpamaan, kalau anda memiliki tetangga dan kita melihat rumahnya terbakar, kira-kira apa yang kita dilakukan? Saya yakin secara spontan akan berusaha untuk memadamkan tanpa ada pamrih sama sekali. Itu baru sekedar rumah, kita juga sepatutnya kasihan terhadap saudara kita karena sudah sekian lama tidak sholat. Apalagi kalau kita dalam bekerja menempati posisi strategis, maka akan lebih mudah untuk mengkondisikan lingkungan.

Keteladanan dalam setiap aspek kehidupan harus senantiasa ditonjolkan, saya kira kalau kita ingin istri dan anak kita menjadi orang baik maka berbuatlah baik pada diri kita. Demikian pula kalau berharap orang lain berbuat baik dan taat pada tuhannya, maka berilah contoh bagaimana semestinya hidup yang baik dan taat pada tuhannya itu.
Dan yang lebih penting menurut dia dalam berdakwah adalah kesabaran dan keikhlasan. Memang benar sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Umar RA berkata, Rosulullah SAW bersabda, "Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka adalah lebih baik daripada mukmin yang tidak bergaul dan tidak sabar atas gangguan mereka" (HR. Ibnu Majah).
Disamping itu, semangat saya tak lepas dari doa restu ibunya tercinta. Oleh karena itu setiap bulan berusaha menyempatkan hadir di hadapan ibu yang ada di Kediri. Sudah menjadi kewajiban anak untuk membahagiakan seorang ibu yang telah memberikan segala-galanya terhadap anaknya. Balasan anak berapapun yang telah diberikan padanya tak sebanding dengan pergorbanan seorang wanita yang berani mati untuk kehadiran anak di dunia ini.Dimana Bumi dipijak, disitu dakwah bergerak[]

Waspada Terhadap Track Record

Pemberantasan korupsi di Indonesia kembali menemukan momentumnya dengan dimulainya seleksi pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Seleksi ini merupakan taruhan besar bagi upaya pemberantasan korupsi. Pasalnya, upaya pemberantasan korupsi masih belum menujukkan hasil yang memuaskan.

Korupsi yang semula tersentralisasi pada elite-elite kekuasaan di era Orde Baru kini telah merata dari pusat hingga ke daerah, dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Praktik korupsi menjadi pemandangan umum, tak Cuma dilakukan oleh pejabat, melainkan oleh para pegawai di level bawah. Belum lagi kasus korupsi BLBI, konglomerat hitam, pejabat tinggi, mantan penguasa Orde Baru dan kroninya yang belum tersentuh hingga kini.

Menurut survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia masih masuk kategori negara korup. Dalam publikasi hasil survey, PERC menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand. Sedangkan predikat negara terkorup di Asia, menurut survei, adalah Filipina. Pada survey yang sama tahun lalu, Indonesia berada di urutan pertama sebagai negara paling korup di Asia.

Sejalan dengan survey PERC, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menurut survey Transparancy International Indonesia (TII) semakin meningkat tiap tahunnya. Tahun 2005, IPK Indonesia 2,2, pada tahun 2006 mencapai 2,4.Korupsi di Indonesia (Rakyat Merdeka.com)

Kendati terjadi penurunan tingkat korupsi, seleksi pimpinan KPK tetap harus obyektif, transparan, dan berkualitas. Dan hal itu memang tidak semudah membalik telapak tangan. Beragam hambatan dan kepentingan politik akan mewarnai setiap kebijakan yang lahir dari lembaga super body ini.


Dengan demikian, menjadi urgen agar panitia seleksi mencermati track record masing-masing calon. Kalau calon tersebut seorang pengusaha atau mantan pengusaha, harus diselidiki apakah pernah terlibat manipulasi pajak atau praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam jumlah yang besar, berapa total kekayaannya dan dari mana saja harus rigid dan transparan. Kalau dia seorang polisi atau mantan polisi, harus diselidiki apakah tatkala mencapai puncak karier dengan jujur dan bukan karena suap seperti lazim terjadi di lingkungan kepolisian


Namun, secara umum ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari dalam menggali track record para calon. Pertama, anggota KPK bukan seorang birokrat dan harus berani melawan intervensi pemerintah yang setiap saat ”mengganggu” kinerja KPK.


Dalam hal ini KPK memiliki catatan buruk, misalnya dalam kasus mantan gubernur NAD, Abdulah Puteh. Perintah penonaktifan yang dikeluarkan oleh KPK agar Presiden memberhentikan sementara Puteh yang tersangku kasus pembelian helikopter tidak ditanggapi pemerintah. Presiden Megawati sama sekali tidak menjawab soal perintah KPK untuk memberhentikan sementara Puteh.


Kedua, KPK bebas dari aktivis atau mantan aktivis Partai politik. Berbicara persoalan Parpol, tentu tidak pernah lepas dari kepentingan jangka pendek yang menguntungkan salah satu golongan. Dengan dihapusnya aktivis parpol di KPK maka akan menghindari gesekan antar kepentingan. KPK pun akan lebih memiliki kredibilitas dimata masyarakat.


Ketiga, KPK bebas dari oknum Orde Baru. Hal ini penting sebab bagaimanapun citra orba yang sarat KKN selama ini belum pulih benar. Kultur Orba yang korup harus senantiasa dijauhkan dengan institusi penting dan strategis seperti KPK sebab diakui atau tidak, tikus-tikus kelas kakap juga lahir di era Orba.











Politisasi KPK di DPR


Tak bisa dipungkiri, proses pemilihan pimpinan KPK oleh DPR selalu diwarnai proses seleksi politik yang kental, karena DPR adalah lembaga politik. Tentunya dalam proses seleksi, kita berharap agar DPR betul-betul melakukannya secara transparan dan memberikan alasan yang jelas tentang kelulusan dan ketidak kelulusan para calon.


Inilah pertaruhan DPR dalam memilih para pimpinan KPK. Kesalahan dalam memilih akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan lembaga itu di mata masyarakat yang sangat berharap KPK mampu bekerja sesuai undang-undang. Saya tidak mempersoalkan dari mana para calon pimpinan KPK itu berasal, yang penting mereka memiliki integritas dan komitmen untuk memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Jangan sampai pimpinan KPK pilihan DPR justru akan melindungi kepentingan politik partai-partai yang berkuasa di DPR. DPR adalah pemegang keputusan terakhir dalam seleksi pimpinan KPK, sehingga sangat beralasan bahwa masa depan KPK ditentukan oleh proses seleksi pimpinan KPK di DPR.


Terungkapnya kasus korupsi KPU, dijebloskannya Abdullah Puteh ke penjara merupakan prestasi konkrit KPK tiga tahun terakhir. Diluar itu, masih berkeliaran kasus korupsi dengan angka triliunan rupiah yang hingga kini belum tersentuh. Korupsi DKP yang menyangkut tokoh-tokoh nasional juga menjadi PR besar bagi KPK yang baru. Pemberantasan korupsi yang terkesan tebang pilih diera sebelumnya harus menjadi bahan eveluasi untuk memilih pimpinan KPK yang lebih tangguh.





*Dody Firmansyah


Mahasiswa FISIP Unair dan


PPSDMS Nurul Fikri

Sabtu, 29 September 2007

Memasung Hak Anak, Sanksi Harus Tegas

Drama penculikan Raisya Ali Said yang menyita perhatian publik termasuk presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla telah berlalu dengan happy ending. Tidak ditemukan indikasi penyiksaan ataupun intimidasi yang dilakukan para penculik terhadap Raisya. Raisya justru mendapat perlakuan sebagaimana umumnya anak-anak seusianya, dia diajak jalan-jalan dan hanya menderita penyakit cacar.

Namun, trauma pasca kejadian dipastikan menghantui bocah lima tahun itu dengan durasi yang bisa bervariasi. Korban penculikan umumnya akan menderita gangguan persepsi, kecemasan terhadap trauma lanjutan, halusinasi, perubahan kepribadian, mimpi buruk berulang-ulang, dan takut diculik lagi.

Terlepas dari Raisya, tragedi penculikan anak memang sepantasnya mendapat perhatian ekstra dari siapapun. Pasalnya, peristiwa demikian menyangkut nyawa manusia, masa depan anak dan beban psikologis orang tua. Selain itu, kisah Raisya merupakan bagian kecil dari rentetan kasus serupa yang dialami anak-anak terutama di kota besar seperti Jakarta. Selama bulan Agustus ini telah terjadi beberapa kali penculikan. Korbannya pun tidak hanya anak kecil saja.

Pada 6 Agustus 2007, Yalani diculik. Tiga hari kemudian, giliran Semi yang diculik di Tanjung Priok. Pada 14 Agustus 2007, Fitriani Pujiastuti (3 tahun), anak seorang tukang sapu kereta diculik di stasiun kereta Gondangdia. Korban dijual seharga Rp400 ribu. Pada 15 Agustus ada tiga kasus penculikan. Raisya Ali Said (5 tahun) diculik di kompleks AURI, Jakarta Timur.

Zainal, seorang pengusaha batubara juga diculik di Hotel Sheraton, Jakarta Pusat. Keluarga korban dimintai tebusan US$ 5juta. Erizka Prafitasari (16tahun) juga diculik pada hari itu. Siswi SMA ini diculik saat naik taksi dengan meminta tebusan Rp.50 juta. Dari semua peristiwa tersebut, patut disyukuri semua penculik bisa tertangkap.(Koran Tempo,22/8)

Angka penculikan yang tinggi menunjukkan betapa anak-anak memang rentan terhadap tindak kriminalitas. Korbannya bisa menimpa keluarga mana pun baik itu orang kaya maupun orang biasa. Penculikan terkadang juga menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi di pada 2003 di Jakarta dimana penculikan dilakukan satu keluarga Toni Buntung yang melibatkan istri, anak, dan menantu. Dari tujuh anak yang diculik, dua di antaranya dibunuh karena orang tua si anak tidak memberikan uang tebusan.


Pelanggaran


Aneka modus penculikan anak merupakan tindakan sadis yang melanggar kepentingan anak yang semestinya dilindungi. Seperti ditegaskan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 4) disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dari sini dapat dipahami bahwa anak memilki legalitas untuk mendapat hak-haknya sebagaimana mestinya. Namun seperti yang lazim terjadi di negeri ini, peraturan ini pun hanya sebatas tulisan yang tercatat di kitab-kitab hukum para penegak hukum. Realisasi dari penegakan peraturan itu pun juga masih jauh dari harapan.
Ironis memang, sebagai bagian terkecil dari komunitas masyarakat , anak sering merasakan dan menjadi korban struktur sosial yang lalim. Hak-haknya kerap disunat. Hak mendapat perlindungan, hak memperoleh pelayanan pendidikan, hak memperoleh pelayanan kesehatan dasar, hak mendapatkan kasih sayang dan hak untuk mendapat perlakukan yang sewajarnya dari seluruh komponen masyarakat sering kali tidak terpenuhi secara memadai, termasuk memperoleh status yang seharusnya ia miliki. Kegagalan seorang anak untuk mendapatkan haknya disebabkan identitasnya sebagai anak tidak memiliki kekuatan hukum seperti orang dewasa.


Sanksi Tegas
Himbauan presiden SBY yang meminta para penculik agar segera melepaskan Raisya dengan jaminan keselamatan bagi para penculik menurut saya kontra produktif terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri. Hukum harus tetap ditegakkan dengan memberikan sanksi yang setimpal atas tindak penculikan tersebut. Tindakan penculikan sudah bisa dikategorikan tindak pidana murni. Pelaku bisa dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena telah melanggar UU No 23 tentang Perlindungan Anak. Himbauan presiden seharusnya dipahamai sebagai sebuah empati humanisme sebagai seorang ayah yang turut prihatin terhadap anak yang berhari-hari berada disarang penculik dengan nyawa sebagai taruhannya.

Jika para penculik ini dibiarkan bebas tanpa ada sanksi, maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga penculikan akan terus merajalela di tanah air. Hukuman berat akan menjadi shock terapy bagi para penculik agar tidak mengulang tindakan yang sama dikemudian hari. Orang tua pun juga tidak akan was-was terhadap kemungkinan penculikan yang menyita waktu, pikiran dan biaya. Pemerintah seyogyanya menerapkan hukuman yang konsisten terhadap pelaku penculikan sehingga ada efek jera dari pelaku kejahatan. Penculikan adalah kejahatan yang tidak bisa ditolerir karena meresahkan dan mengancam nyawa orang.