Kamis, 30 Oktober 2008

Melatih Kebiasaan Berinfaq



Beberapa waktu lalu ada sebuah kisah unik di internet yang membuat saya tertarik untuk menyampaikannya kepada pembaca setia Oase. Ini merupakan kisah nyata dari si Fulan yang mengaku pernah mengalami kecelakaan yang sangat mengerikan. Logika manusia berkata bahwa seharusnya ia meninggal, tetapi tidak. Dia selamat dan hanya mengalami luka ringan saja.
Si Fulan berkata, ”saya tertabrak mobil dan terpental dari kendaraan lalu jatuh di dekat ban mobil yang menabrak saya. Saya merasakan rambut terjambak oleh ban mobil.” Di balik kisah itu, dia bertanya-tanya, ”Apakah karena itu?”. Fulan itu bercerita bahwa di tengah perjalanan dia melihat seorang pemulung yang sudah tua, yang sedang sibuk membongkar sampah.
Karena iba, si Fulan merogoh koceknya dan dia berikan semuanya kepada pemulung itu. Mungkin kita anggap bahwa itu adalah keselamatan diri karena sebuah kebetulan. Tapi, tidak ada yang namanya sebuah kebetulan di dunia ini. Semua merupakan settingan dari Allahu Akbar.
Saya kemudian berandai-andai jika kaum muslimin kaya setiap harinya berinfaq pasti tidak ditemukan kaum miskin di negeri ini seperti yang pernah terjadi di zaman khaliah Umar Bin Abdul Aziz. Namun khayalan memang benar-benar khayalan, semangat berinfaq kaum muslimin masih jauh dari optimal. What’s wrong?

Ada tiga poin yang bisa saya sebut mitos mengapa kaum muslimin masih enggan untuk berinfaq. Pertama, infaq akan mengurangi atau bahkan menguras harta kita. Logika ini yang saya kira menjadi momok menakutkan dan menghalangi kita untuk berinfaq dan berzakat. Su’udzon yang lebih parah adalah ketika akan berinfaq, terlintas dalam pikiran kita “Aah jangan-jangan ini buat mabuk?!, uang ini nanti dipakai buat judi dan aneka maksiat lainnya?!”.

Pemahaman atau logika yang seperti ini direkam oleh Allah dalam sebuah ayatnya “Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata."(QS Yaasin:36)

Mitos kedua adalah, infaq tidak akan membuat kita kaya. Secara matematis, memang rezeki kita berkurang tatkala kita berinfaq atau bersedekah kepada orang lain. Apalagi, jika infaq kita berupa barang yang berharga jual tinggi. Hanya saja, dalam beragama kita tidak saja menerima begitu saja apa yang dihasilkan oleh akal kita. Banyak peritiwa yang diluar kemampuan akal kita dan hanya bisa dilakukan oleh Allah semata. Allah berjanji dalam surat As Saba tidak akan memiskinkan siapa saja yang hobby bersedekah.
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)." Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (Saba;39)

Ketiga, jamak diantara kita mengatakan Infaq hukumnya sunnah. Artinya, jika dilakukan berpahala, jika tidak melakukan juga tidak mendapat dosa. Hukum tersebut memang betul dan bisa dijadikan alasan untuk tidak berinfaq.

Hanya saja, menjadi sangat berbahaya jika semua orang di negeri ini memilih untuk tidak berifaq hanya karena hukumnya yang sunnah. Kemiskinan, kriminalitas, bunuh diri bermotif ekonomi begitu menjamur di negeri ini. Menjadi sangat ironis, jika kita tidak berkontribusi untuk membenahi kondisi tersebut. Dengan berinfaq, baik secara langsung ke mustahiq atau melalui pengelola infaq akan mengurangi duka lara kaum papa di lingkungan kita.
Ketiga logika tadi sungguhlah tidak tepat jika kita mengaku sebagai kaum muslimin. Karakteristik kaum muslimin dengan dengan sesamanya ibarat---kata Rosulullah SAW--- sebagai satu tubuh. Jika tangan kanan terluka, maka tangan kiri harus siap membantu. Apalagi infaq tidak mengenal kata nishob atau batas minimal harta yang dimilki calon munfiqin. Berapapun harta yang kita miliki bisa kita manfaatkan untuk membenahi umat ini.
Dengan demikian marilah kita biasakan berinfaq berapapun harta yang kita punya. Karena dengan berinfaq seseungguhnya akan menjauhkan kita dari bala dan yang lebih penting lagi adalah membuat jiwa kita bersih dan mendatangkan pahala dari Allah. []

Jadilah Guru Berkarakter Qur’ani


Saat tulisan ini ditulis, sebuah media cetak terbesar di Jawa Timur menurunkan berita malam Grand Final Pemilihan Guru Ideal (PGI) Untukmu Guruku 2008. Dalam berita tersebut diinformasikan, dari seribu guru yang mendaftar, akhirnya terpilih enam finalis pada malam itu. Saat nama pemenang satu persatu dipanggil, suasana tegang berubah menjadi suka cita dan rasa syukur begitu pengumuman para pemenang. Bahkan, satu per satu guru yang dinyatakan sebagai pemenang langsung sujud syukur di panggung

Hajatan atau penghargaan seperti diatas saya kira patut untuk kita apresiasi dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun swasta di tanah air. Bukan persoalan karena banyak peminatnya, melainkan sebagai pemicu untuk memupuk rasa cinta terhadap guru. Guru harus senantiasa dihargai karena memang jasanya yang begitu besar membangun bangsa.

Dewasa ini, sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, semakin banyak sebutan sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru pejabat mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”, “guru sebagai jabatan profesional”, ’’guru itu digugu dan ditiru““guru sebagai sumber teladan”, “guru sebagai pengukir masa depan bangsa” dan sebagainya. Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya.

Namun, pada kenyataanya pencitraan guru selama ini cenderung dianggap sebagai profesi kelas dua. Sebagian besar orang tidak mau menjadi guru, kecuali karena kepepet alias daripada menganggur. Ada anggapan seakan siapa pun yang sudah mengantongi ijazah sarjana bisa menjadi guru asal dia mau. Pekerjaannya juga mudah, hanya pagi datang, mengajar, siang sudah bisa pulang. Profesi guru cenderung dianggap gampang.

Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Tanpa guru, proses pendidikan akan timpang.

Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru. “No teacher no education, no education no economic and social development” demikian prinsip dasar yang diterapkan dalam pembangunan pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat bapak bangsanya yaitu Ho Chi Minh. Untuk itulah, jika pendidikan ini ingin terus berkembang pesat salah satu syaratnya menjadi guru yang berkualitas tinggi, tidak “kacangan” dan asal-asalan..

Bagaimana menjadi guru yang seperti itu? Believe it or not, menjadi guru yang high quality dan pada akhirnya bisa digugu dan ditiru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak variabel yang mendasari kenapa guru bisa digugu dan ditiru. Ada tiga prinsip yang setidaknya bisa terinternalisasi didalam jiwa tiap guru supaya menjadi lebih baik. Pertama, menjadikan Alqur’an sebagai landasan filosofis pendidikan. Falsasafah Al Qur’an mengkaji reasi-relasi antar sesama manusia, manusia dengan makrokosmos, manusia dengan sang pencipta. Dalam pengertian bahwa pendidikan berusaha memelihara individu dan pertumbuhannya. Al Qur’an memandang manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia diantara makhluk-makhluknya dengan memberi perhatian yang besar kepadanya.

Kedua, perbaikan akhlak sebagai inti pendidikan. Pendidikan akhlak merupakan sisi lain dari pendidikan Nabi yang menjadi jiwa dari pendidikan muslim. Para pakar pendidikan Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran tidak sebatas memenuhi otak anak didik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Tujuan menanamkan pendidikan akhlak adalah menanamkan rasa fadillah (keutamaan) Islam menuju kehidupan yang santun dan bermartabat.

Mu’adz ibn Jabal menceritakan bahwa wasiat terakhir Nabi yang ia terima adalah ketika Muadz menyilangkan kaki diatas pahanya, Nabi menegurnya. “Wahai Muadz, perbaikilah akhlakmu terhadap manusia.” Anas Ibn Malik menceritakan, Rosulullah SAW berkata, “janganlah kamu saling marah, saling dengki dan jangan saling membelakangi. Jadilah kamu hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam.”

Ketiga, Alqur’an sebagai kurikulum. Karena Alquran merupakan landasan teoritik, maka prinsip-prinsip Al Qur’an membentuk faktor integral yang menyatukan materi kurikulum yang berbeda-beda. Dalam Al Qur’an tidak didapatkan istilah religius dan sekuler bagi cabang cabang ilmu. Seluruh subyek ilmu, termasuk ilmu-ilmu alam harus diajarkan dari visi Al Qur’an. Dikotomik ilmu, dengan demikian tidak dikenal dalam Islam.

Ketiga prinsip inilah yang saya kira perlu dipahami oleh para guru yang tiap tahun jumlahnya cenderung meningkat. Jangan sampai menjadi guru merupakan pilihan terakhir karena gagal masuk ke profesi lain yang mengibatkan kinerja kita akan asal-asalan dan tidak profesional di mata Allah. Guru tetaplah profesi mulia yang melahirkan para ulama dan umara di negeri ini. Maju terus wahai guru. []

Kita, Diantara Kemiskinan dan Pemiskinan

Syahdan, di sebuah laboratorium medis di negeri Adidaya, sedang digelar lelang otak manusia dari berbagai negeri. Dokter A menawarkan otak orang Jerman. Pasalnya, sudah sejak lama memilki tradisi dan karakter yang kuat dalam memajukan bangsa. Banyak mobil diproduksi disana, pesawat terbang dan alat transportasi lainnya. Dokter B punya pendapat berbeda. Dia menyodorkan otak orang Jepang saja, karena punya disiplin tinggi, pekerja keras dan tidak gampang nyerah. ”Kedepan kita butuh manusia dengan soft skill berkualitas. Jepang juga banyak menhasilkan kendaraan,” kata dokter Jepang.

Tiba-tiba ada seorang dokter menawarkan otak orang Indonesia, namun dengan harga yang jauh lebih mahal dari kedua otak sebelumnya. ”Ini saya tawarakan mulai 5 juta dollar,”kata dokter C. Para peserta dibuat terbengong-bengeong karena mengangagp nggak ada yang bagus dalam otak orang Indonesia. ”Daya kreatifitasnya rendah, nggak memproduksi teknologi apapun kok dijual mahal,” kata dokter asal Jepang. Dokter C menjawab dengan diplonatis bahwa otak orang Indonesia ini nggak pernah dipakai. ”Otak orang Indonesia masih orsinil, karena nggak pernah dipake,”kata Dokter C. Singkat cerita, otak Indonesia laku keras karena masih orsinil.
Mungkin pembaca sudah pernah mendengar atau membaca anekdot tadi. Jelas sekali bahwa bangsa ini---melalui anekdot-- tadi disindir sebagai bangsa yang tidak mau menggunakan otaknya untuk membangun negeri. Itulah sebabnya, kemiskinan seolah sudah mendarah daging di negeri ini. Padahal sudah sejak lama bangsa ini dikenal sebagai daerah yang gemah ripah loh jinawi.
Arinya, bumi pertiwi ini telah dihadiahi tanah subur, jumlah penduduk yang besar dan kaya akan sumber daya alam oleh Allah SWT. Bahkan, saking suburnya tanah di negeri ini, ada yang berkelakar membuang biji salak di belakang rumah pun akan tumbuh dengan sendirinya tanpa ada maintenance dari empunya kebun di belakang rumah. Yang empunya kemudian tinggal memetik buahnya.

Namun kenapa masih bertebaran kaum papa di negeri ini? apakah ini tanggung jawab pemerintah dan kita menunggu belas kasihan dari pemerintah? Sebagai kaum muslimin, tentunya akan lebih memilih bagaimana bekerja keras untuk menutupi kemiskinan ini daripada menunggu program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan.

Persoalannya, dalam hemat saya, budaya bangsa ini tampaknya tidak mendukung dalam upaya menumbuhkan kepercayaan diri untuk menjadi kaya. Sejak dini kita sudah dibiasakan agar terjadi proses pemiskinan terhadap diri sendiri.

Pemiskinan dapat diartikan suatu proses yang berlangsung secara sistematis dan terus menerus sehingga seseorang menjadi miskin dan itu terjadi bukan kehendaknya. Seperti yang dibedah dalam edisi ini secara tidak sadar telah menjangkiti relung-relung mental kita. Sehingga, bisa ditemukan dalam lingkungan kita, terutama saat BLT mulai dicairkan, sebagian saudara kita lebih bangga menjadi miskin dan berlomba-laomba mendapat dana 300 ribu rupiah. Padahal jika ditelisik lebih jauh dan ini adalah fakta di kampung halaman saya, ada beberapa warga tersebut telah berkecukupan secara materi. Sekali lagi, bangsa ini ternyata lebih suka disebut miskin daripada kaya.

Mental Inlander

Sebagai kaum muslimin, kita hendaknya membuang mental-mental inlander seperti ini. Tdak ada negara yang bisa maju jika rakyatnya merasa miskin kreatifitas . Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, janganlah mengukur rizki yang kita peroleh dengan besaran uang saat ini, karena ada keuntungan psikologis yang terus lekat menjadi kekayaan sejati setelah anda berbuat penuh makna bagi kehidupan sesama. Ketiga, biasakan merenung bila mulai jadi pengeluh dan peminta-minta, agar engkau menemukan kebesaran hati dan kepercayaan diri untuk menjadi makmur penuh syukur. Keempat, ikhlaskanlah apa yang kita miliki bila terpaksa harus hilang atau diambil seseorang, karena besarnya kekayaan ditentukan oleh seberapa besar rasa ikhlas kita.
Kelima, berbagi rahasia sukses dan pikiran positif kepada siapapun yang membutuhkan agar banyak orang termotivasi dan dapat meraih keberhasilan dalam hidupnya.[]

Jumat, 01 Agustus 2008

Kok Lama Nggak Update??


INi adalah pertanyaan dari seorang sahabat yang rutin membuka blogku. nggak tau kenapa, padahal tak kira blog ku ini cuma aku baca coz aku nggak pernah memasarkan blog cantik ini.

kenapa?
1. selaku manajer transconsulting, aku bikin dua blog, nah ini persoalanya. aku lupa paswaordnya berbeda, setelah tak buka yang keluar malah punya transconsulting. baru kali ini nemu paswaordnya.

afwan ya sahabatku......

Senin, 05 Mei 2008

Mengisi Hardiknas Dengan Giat Membaca



Pada bulan Mei ini, ada dua hari yang cukup penting bagi dunia pendidikan kita yakni hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei dan Hari Buku yang hadir pada setiap tanggal 17 Mei. Kedua moment tersebut idealnya bisa menjadi pelecut diri kita untuk lebih bersemangat dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan menumbuhkan kecintaan kita terhadap buku dengan lebih giat membaca.

Data mutakhir dari United Nations Development Programme tahun 2005 menyebutkan, posisi minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat 96 dari 100 negara di dunia yang diteliti. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat minat baca masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Jawa Timur sebagian besar masih rendah.

Mengapa minat baca di Indonesia dikatakan rendah? Ada beberapa faktor yang harus segera kita tuntaskan. Pertama, banyaknya jenis hiburan seperti Playstation dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku. Demikian pula dengan surfing di internet yang makin mudah diakses membuat kita lupa terhadap buku.

Kedua, budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat secara verbal dikemukakan orangtua, tokoh masyarakat, penguasa pada zaman dulu. Tidak ada pembelajaran secara tertulis. Jadi tidak terbiasa mencapai pengetahuan melalui bacaan Hanya saja apa yang dapat dilihat di internet bukan hanya tulisan tetapi hal-hal visual lainnya yang kadangkala kurang tepat bagi konsumsi anak-anak. Ini harus kita rubah.

Ketiga, banyaknya tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karaoke, night club, mall, supermarket. Tempat-tempat seperti ini justru semakin mengasah tingkat konsumerisme kita. Keempat, para ibu terutama di pedesaan, juga disibukkan dengan membantu mencari tambahan nafkah untuk keluarga, sehingga tiap hari waktu luang sangat minim bahkan hampir tidak ada untuk membantu anak membaca buku.

Kelima,sarana untuk memperoleh bacaan seperti perpustakaan atau taman bacaan,masih merupakan barang aneh dan langka. Untuk meningkatkan minat baca, harus dimulai dari usia sangat dini karena minat ini tumbuh sebagai hasil kebiasaan membaca.

Dari keenam persoalan tadi, peran orang tua menjadi sangat urgen. Sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, keluarga memainkan peran sentral sebagai sekolah pertama bagi anak. Orang tua harus mampu menjadi motivator ulung dan penyemanagat yang luar biasa bagi putra putrinya. Rosulullah SAW menganjurkan agar tidak hanya banyak anak tapi juga mampu mengkader putra-putrinya menjadi muslim yang kuat dan berkualitas tinggi. Tentu saja, keteladanan orang tua menjadi cara ampuh agar anak gemar membaca. Jika orang tuanya tidak ”gila” buku, jangan harap sang anak pun juga dengan mudah bisa membiasakan diri untuk gemar membaca.

Tidak hanya peran orang tua, pemerintah juga harus bersemangat untuk menumbuhkan minat baca masyarakat dengan kampanye dan pembangunan perpustakaan, taman baca atau rumah baca yang merata. Saya melihat pembangunan taman baca hanya tersentral di kawasan perkotaan saja. Kawasan pedesaan yang notabene minim fasilitas juga belum tersentuh.

Dengan tersedianya buku dan ruang baca bagi warga, menjadikan masyarakat makin cerdas dan kreatif. Mereka akan membuka usaha, berani mandiri, bekerja secara profesional, berdiri tegak di antara bangsa-bangsa. Untuk meralisasikan semua ini dibutuhkan suatu program meningkatkan minat baca dengan visi dan misi mencerdaskan bangsa, menjadikan negara Indonesia sejajar di antara bangsa-bangsa di dunia. Semoga! []

Sabtu, 05 April 2008

Partai Keseringan Berantem (PKB)

Babak baru konflik ditubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kembali ditabuh. Berdasarkan rapat gabungan dewan syuro dan tanfidziah, mayoritas meminta agar Muhaimin Iskandar mengundurkan diri dari ketua umum PKB. Konflik ini kemudian membuat partai ini terbelah, 15 DPW menyatakan menolak mundurnya Muhaimin dan 10 DPW menyatakan setuju.

Sejak didirikan, PKB selalu saja dirundung konflik internal dan seringkali berujung pada perpecahan. Tahun 2001, Matori Abdul Jalil, Ketua Umum PKB yang sebelumnya anak emas Gus Dur ini dipecat karena mengabaikan perintah partai untuk tidak mengikuti Sidang Istimewa yang menurut Gus Dur tidak sah.

Empat tahun kemudian, duet Alwi Shihab dan Gus Ipul dipecat setelah bersengketa mengenai keabsahan kepengurusan DPP PKB hasil Muktamar di Semarang yang menghasilkan keputusan Gus Dur-Muhaimin Iskandar sebagai pucuk pimpinan PKB.

Tidak hanya itu, nama-nama mentereng seperti Khofifah Indar Parawansa, AS Hikam, Khoirul Anam dan Lukman Edy juga secara bertahap dipreteli oleh jajaran orang-orang kuat di PKB. Nama-nama tersebut kemudian banyak yang melakukan perlawanan hingga ke meja hijau.

Seringnya konflik yang mendera PKB membuktikan betapa terjalnya jalan PKB menjadi partai modern dan mengusung sportivitas dalam memutuskan sebuah kebijakan partai. PKB masih tradisional dengan Gus Dur sebagai tokoh sentralnya.

Tidak ada satu tokoh pun di PKB yang mampu menandingi kedigdayaan mantan presiden ini. Konsekuensinya, apa kata Gus Dur itulah sikap PKB. Biarpun Gus Dur mengatakan warna langit itu kuning, maka PKB ”wajib” mengatakan kuning. Begitulah ungkapan yang kira-kira sangat tepat untuk menggambarkan kondisi PKB saat ini.
Dari Feodal Ke Rasional
Sosiolog Max Weber mengatakan, tipe kepemimpinan tradisional dengan mengandalkan kepemimpinan kharismatis merupakan tipe yang paling buruk karena mengacu pada kepemimpinan absolut di zaman feodal. Kepemimpinan tradisional akan menghambat demokratisasi dan akan selalu kalah dalam kancah persaingan regional maupun global. Kepemimpinan tradisional juga akan mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah-masalah bangsa seperti anti-nasionalisme, separatisme, primordialisme bahkan radikalisme.

Pembebasan partai-partai politik dari budaya kepemimpinan rasional harus dimulai oleh para kader partai politik itu sendiri dengan mengubah platform organisasi dan mindset kepemimpinan partai. Hanya saja, memang tida mudah upaya-upaya seperti ini bisa sukses terimplementasi namun upaya yang terus-menerus pasti akan membuahkan hasil. Jika partai-partai politik sudah memiliki kepemimpinan rasional maka diharapkan akan mengimbas ke kepemimpinan nasional(pemerintahan).

Dengan demikian, para pemimpin di pemerintahan, lembaga-lembaga tinggi negara, dan lain-lain akan lebih rasional dalam memecahkan masalah-masalah bangsa. Namun, perjuangan membebaskan partai-partai politik dari kepemimpinan tradisional-feodal bukan perkara yang mudah. Hambatannya sangat besar karena datang dari para pemimpin tradisional bersangkutan.(Sukowaluyo:2006)

Ke depan, jika PKB masih memilih menggunakan tipe kepemimpinan tradisional untuk menjalankan organisasi modern, maka proses regenerasi akan berjalan lamban dan tidak mustahil akan ditinggalkan konstituennya. Kepemimpinan di PKB yang feodal selayaknya dibuang jauh-jauh karena memang sudah tidak compatible lagi dengan zaman di mana semua aspek kelembagaan dan keorganisasian sudah harus dikelola secara modern dan rasional.
PKB harus segera merombak sistem yang ada dengan mengusung nilai-nilai kolegialisme dan obyektif. Bukan bergantung pada ketokohan personal. Pasalnya, tujuan Parpol tidak hanya mengeruk suara melainkan menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat. []

Jumat, 14 Maret 2008

Negara Butuh Anak Sekolahan




Panitia Khusus DPR RI kini tengah beradu argumentasi menggodok RUU Pilpres 2009. Seperti diberitakan harian ini, beragam sekali manuver dari tiap-tiap Parpol untuk menggolkan kepentingan masing-masing. Salah satu syarat yang ramai dibicarakan adalah mengenai calon presiden minimal sarjana. Rasionalisasi bagi kubu pendukung minimal S-1, persyaratan ini penting karena tantangan presiden RI ke depan semakin berat sehingga lulus sarjana merupakan suatu kebutuhan.(JP,13/03).
Batasan minimal jenjang pendidikan bagi seorang calon presiden adalah perkara wajar untuk diperdebatkan. Pasalnya, dengan tingkat pendidikan tersebut, masyarakat bisa memahami seberapa berkualitas calon yang diusung. Ironisnya, ketika persoalan itu diangkat di Indonesia, sebagian politisi menilai gagasan ini hanya untuk menjegal salah satu calon tertentu.
Dugaan itu jauh panggang dari api. Secara faktual, persyaratan bagi calon presiden agar minimal menempuh pendidikan S-1, adalah suatu hal yang semestinya diapresiasi. Bagaimana mungkin, seorang presiden yang membawahi menteri-menteri profesional adalah lulusan SMA yang kadar intelektual jauh dari jajaran dibawahnya.
Memang, pendidikan bukanlah parameter utama untuk memutuskan apakah calon tersebut berkualitas atau tidak. Namun, setidaknya calon tersebut memiliki visi yang jelas kemana arah bangsa ini akan dibawa, dan orang berpendidikan tinggi tentu pola pikirnya berbeda dengan calon lulusan sekolah menengah. Pendidikan yang baik akan membentuk karakter yang kuat dan wawasan yang luas sebagai prasyarat mutlak sosok pemimpin.
Selain postulat tadi, ada beberapa catatan penting kenapa presiden 2009 minimal sarjana, Pertama, seiring perkembangan pendidikan yang kian pesat, Perguruan Tinggi tidak hanya dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya.
Namun, institusi pendidikan tinggi sudah mulai menjalar ke kabupaten dan beberapa kecamatan. Hal ini membuktikan bahwa Perguruan Tinggi bukanlah barang langka dan sulit untuk diakses masyarakat seperti 30-40 tahun silam.

Masyarakat kecil pun sekarang sudah semakin paham bahwa tingkat pendidikan seseorang bisa berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang, terutama dalam mencari pekerjaan. Sehingga banyak diantara mereka yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya hingga Perguruan Tinggi.

Data jumlah pengangguran di Indonesia, kaum sarjana paling sedikit diantara jenjang pendidikan dibawahnya. Artinya, kaum sarjana lebih kompeten dalam mengelola hidup dibanding kaum lulusan sekolah menengah. Meskipun ada catatan, seseorang dapat merintis wirausaha yang sukses dan menempuh profesi yang jempolan pada saat masih kuliah. Dengan lulus sarjana, diharapkan calon presiden juga mampu mengelola rakyatnya.

Kedua, kebutuhan pasar. Tidak bisa dipungkiri, tingkat pendidikan menjadi persyaratan yang dibutuhkkan dalam sebuah organisasi besar seperti perusahaan profit, LSM dan Organisasi Masyarakat skala nasional. Hingga saat ini sedikit ditemukan, organisasi besar yang diduduki oleh pimpinan tamatan sekolah menengah. Kalaupun ada, dalam perjalananya sang pemimpin itu akan melanjutkan studi hingga tingkat sarjana guna mengimbangi posisi karyawan atau anak buahnya.

Kedudukan presiden memang jabatan politis, namun tingkat pendidikan tetap vital untuk dijadikan kriteria dengan alasan kebutuhan pasar yang membutuhkan pola pikir dengan kadar inteletual yang tinggi. Singkatnya, menjadi direktur dan mengurusi satu perusahaan saja minimal sarjana, apalagi menjadi presiden yang mengurusi 220 juta orang?

Ketiga, bercermin pada kualitas beberapa anggota dewan (rata-rata DPRD) yang hanya lulusan SMP/ SMA, ternyata kinerja mereka cukup mengecewakan dan moralnya cukup diragukan sehingga banyak ditemukan wakil rakyat terlibat skandal moral atau penyimpangan kekuasaan. Gejala buruk ini memang tak bisa disimpulkan hanya akibat pendidikan yang rendah, tapi sekurang-kurangnya proses pendidikan dapat mencegah segala bentuk penyimpangan moral dan politis. Jika fenomena berbeda yang terjadi, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin besar tingkat penyimpangannya, maka kita harus mengevaluasi total proses pendidikan yang berlangsung saat ini. Apa yang salah dengan pendidikan nasional kita.
Kita masih menemukan kasus pejabat atau tokoh masyarakat yang ternyata mengantongi ijazah palsu. Padahal, dia telah menduduki jabatan prestisius yang mensyaratkan pendidikan tertentu. Kenyataan ini menujukkan sebagian masyarakat telah salah mempersepsi fungsi pendidikan. Saya juga tidak mengatakan bahwa Capres atau calon pejabat tinggi tamatan sekolah menengah tidak memadai kadar moral dan intelektualnya. Namun hal itu menunjukkan, selama ini jabatan presiden dan wakil rakyat dianggap sebagai jabatan politis semata tanpa memperhatikan unsur pendidikan politik kepada rakyat.

Persyaratan calon presiden minimal S-1 merupakan wahana untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat bahwa presiden bukanlah jabatan politik semata, melainkan sebagai cara untuk memberikan teladan dan penanaman nilai-nilai moral.

Hindari Politik Dagang Sapi
Mengaca pada pemilu 2004, ternyata pembahasan mengenai RUU Pemilu sarat dengan politik dagang sapi. Konsekuensinya, obyektifitas dan rasionalitas RUU Pemilu menjadi lenyap dan dikalahkan oleh kepentingan segelintir Parpol. Misalnya, partai besar mengusulkan Capres-Cawapres adalah yang memperoleh suara 20-30% pada Pemilu legislatif. Bagi Parpol yang merasa kecil mengusulkan pasangan capres-cawapres minimal memperoleh 5%. Sementara itu, partai yang calonnya sarjana mensyaratkan pasangan Capres-Cawapres minimal berpendidikan sarjana. Dan terjadilah politik dagang sapi tersebut dimana satu kubu politik menawarkan persyaratan 3% kursi atau 5% perolehan suara, kubu lain "membelinya" dengan diperbolehkannya mereka yang berijazah setingkat SMA untuk bisa dicalonkan.
Untuk itu, pada Pemilu 2009 produk UU yang obyektif dan lebih menjanjikan capres berkualitas tinggi harus lebih ditonjolkan daripada kepentingan elite parpol. Walaupun kita bisa menwarkan mekanisme win-win solution bagi setiap Parpol tanpa mengorbankan kualitas pemimpin yang dihajatkan rakyat. Tingkat pendidikan minimal S-1 merupakan pilihan obyektif dan rasional sehingga tidak diperdebatkan lagi.
*Dody Firmansyah
Pemerhati Sosial Politik,
Pengelola Lembaga Penelitian Aksara Media Communication, Surabaya

Rabu, 05 Maret 2008

Zakat Sebagai Solusi Terbaik

Di bulan Ramadhan ini seruan agar umat Islam segera menunaikan kewajiban berzakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan mustahiq zakat semakin gencar. Berbeda dengan empat rukun Islam lain, zakat sebagai sebagai salah satu rukun Islam memang memiliki ciri khas tersendiri karena zakat tidak hanya berdimensi vertikal– yaitu hubungan ibadah kepada Allah SWT – tetapi juga berdimensi horizontal yaitu hubungan ibadah terhadap sesama manusia.
Seruan ini pun ditanggapi positif oleh kaum muslimin. Semakin mendekati akhir Ramadhan, semangat masyarakat untuk membayar zakat semakin tinggi. Fenomena ini ditandai dengan menjamurnya jumlah muzakki yang membayakan zakatnya melalui sejumlah lembaga pengelola zakat. Ini merupakan sebuah kabar gembira tak terkecuali bagi dunia pendidikan. Dengan semakin banyaknya perolehan dana zakat oleh lembaga pengelola zakat, semakin tinggi pula dana yang bisa dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Sektor pendidikan merupakan fokus garapan utama selain pemberdayaan ekonomi bagi hampir semua lembaga pengelola zakat. Oleh lembaga zakat, sektor pendidikan ini umumnya ditawarkan dalam berbagai bentuk program, seperti beasiswa, sentra pendidikan mandiri, upgrading guru dan sebagainya.
Potensi Zakat
Menyelesaiakan permasalahan pendidikan di Indonesia melalui zakat memang bukan hal yang mustahil bahkan justru sangat potensial untuk dikembangkan. Eri Sudewo seorang Social Entrepreneur sekaligus praktisi zakat pernah mengkalkulasi potensi zakat di Indonesia. Jumlah kaum muslimin adalah 180 juta. Jika separuh Muslim diasumsikan miskin, berarti ada 90 juta yang kaya.
Jumlah 90 juta Muslim kaya adalah data perorangan. Data jiwa ini harus dijadikan keluarga. Asumsikan dalam satu keluarga, diisi 3 anak dan ibu bapak. Angka 90 juta jiwa dibagi dengan 5 anggota keluarga. Maka kini ada 18 juta keluarga Muslim kaya di Indonesia.
Jika didasarkan pada kewajiban zakat Rp 100 ribu per bulan. Berarti penghasilan muzakki berkisar Rp 4 jutaan. Himpunan zakat terkecil dari potensi ini mencapai Rp 180 miliar per bulan yang dengan jumlah muzaki 10 persen dari 18 juta Muslim. Total setahun Rp 2,16 triliun. Lantas, jika 16,2 juta Muslim kaya mau berderma Rp 100 ribu, per bulan zakatnya Rp 1.8 triliun. Setahun mencapai zakat Rp 21,6 triliun. Sebuah angka yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dari kalkulasi yang cukup luar biasa tersebut, terbayang nyata keutamaan zakat sebagai solusi. Zakat benar-benar menjadi instrumen orang-orang kaya untuk membantu mengatasi kebutuhan asasi orang-orang miskin. Zakat juga berfungsi menjaga keseimbangan kehidupan. Memutus kesenjangan ekonomi itulah yang menjadi salah satu hikmah dari kewajiban berzakat. Dengan demikian, maka bukan mustahil biaya sekolah penduduk miskin bisa digratiskan. Dan amanat UUD yang menyatakan bahwa 20 persen anggaran digunakan untuk pembiayaan pendidikan bisa tertutupi dengan zakat ini.


Namun, ironisnya kalkulasi tadi hanya sebatas angan-angan. Berbagai macam persoalan pelik masih terjadi sehingga mengakibatkan pengelolaan pendidikan masih compang camping. Permasalahan itu diantaranya, Pertama, saat ini potensi zakat yang sangat besar itu belum optimal pengelolaannya. Me¬¬nurut Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Zakat Nasional saat ini dari zakat hanya mencapai 10%, setahun dan hanya bisa terkumpul Rp. 1,7 triliun. Dengan dana yang cukup minimalis tersebut, tentu sangat sulit dibayangkan menuntut kemajuan pendidikan melalui zakat. Pasalnya, zakat tidak hanya dialokasikan untuk pendidikan saja, melainkan juga pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kegiatan-kegiatan dakwah lainnya. Semakin kecil persentase zakat yang terkumpul, otomatis persentase untuk pendidikan juga akan berkurang.
Kedua, masyarakat lebih suka untuk membayar zakat di masjid-masjid setempat yang menurut saya masih sangat konvensional dan memiliki jaringan yang terbatas dibanding dengan lembaga amil zakat profesional yang sudah memilki jejaring cukup luas baik lokal maupun nasional. Lembaga zakat merupakan metode yang paling mendekati dengan pengelolaan zakat di era Rosulullah SAW. Pada zaman nabi, zakat dikelola oleh negara yang dikenal dengan sebutan Baitul mal
Ketiga, masih minimnya political will dari pemerintah terkait dengan pengelolaan zakat. Dalam tataran payung hukum misalnya, yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia, pemerintah belum memberikan perubahan yang fundamental dalam menaikkan jumlah wajib zakat. Selain itu, dalam Pasal 9 disebutkan, dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya. Hal ini mengindikasikan, pemerintah seolah-olah memberi memberi pengawasan ketat kepada Lembaga Pengelola Zakat.
Dengan demikian, maka dibutuhkan sebuah sinergisitas antara masyarakat bawah, ormas Islam dan pemerintah untuk segera meningkatkan potensi zakat yang belum menyentuh orang kaya yang jumlahnya jutaan. Diharapkan, pengalokasian dana zakat pada sektor pendidikan mampu meringankan masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan.

Rabu, 20 Februari 2008

Kebenaran Sejati Ada di Islam

Hidayah Islam memang hadir dengan tidak terduga-duga. Ada yang melalui mimpi, ada juga dengan jalan lain seperti yang dialami oleh Bian Wahyudi (24), karyawan PT Unggul Tata Persada Tatkala iseng-iseng membuka Alqur’an, ayat yang pertama kali ia baca adalah surat Al Ikhlas. Tak lama kemudian, ia membuka lagi mushaf, tak sengaja Ia menemukan ayat yang berisi yang mengatakan Isa itu tuhan, maka kafirlah dia. Kini ia menjadi mualaf, bagaimana awal mulanya?.



Meski lahir di Surabaya, Bian Wahyudi pantas disebut keturunan China. Terlihat dari mata yang sipit dan wajah yang putih bersih, khas China. Kedua orangnya pun memilki darah China yang kental kendati ia tidak begitu tahu menahu tentang garis keturunan nenek moyangnya.

Lahir dari kultur keluarga penganut Katolik taat, minimal setiap pekan sekali Bian dan keluarganya beribadah di gereja. Warna Katolik makin kentara jika melihat bacground pendidikannya yang rata-rata berlatar berlakang Katolik, kecuali jenjang SMA yang waktu ia enyam di bangku sekolah umum. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya ini mengatakan lingkungannya yang rata-rata kaum non muslim menjadikan dirinya tidak terbersit keinginan menjadi seorang Muslim. ”Pokoknya, waktu itu saya bertekad tidak akan masuk Islam. Siapa yang mempercai Yesus itu ada, maka ia akan selamat dan masuk surga,” kata Bian mengenang masa lalunya. Bian sama sekali tidak tertarik dengan Islam, disebabkan citra Islam yang cukup negatif seperti yang sering ia dengar dari khutbah-khutbah di gereja.

Namun, pada akhir tahun 2006, Bian merasa seolah-seolah ada yang menggiring dirinya untuk mempelajari agama Islam. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melakukannya, namun hasilnya nihil. Yang terjadi, jutru tekad yang makin membara untuk mempelajari Islam lebih jauh. Tanpa sepengetahuan keluargannya, Bian diam-diam membeli Alquran terjemahan dan kemudia membacanya. Bagai sebuah mukjizat, ayat-ayat yang ia buka waktu itu selalu saja ayat yang mengkritik kebenaran agama Katolik seperti surat Al Ikhlas yang intinya berbunyi, Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ia membuka lembaran yang lain, yang terbaca justru peringatan lebih keras lagi, yakni siapa yang mengakui Isa putra maryam itu tuhan maka telah kafir (Al Maidah:72). Membaca ayat-ayat inilah, akhirnya saya tersadar, bahwa agama yang saya anut selama ini salah besar, saya mengakui bahwa Islam itulah agama yang benar,”kata pria yang berdomisili di kawasan Rungkut ini.

Di Katolik, konsep ketuhanan memang tidak logis. Tuhan yang jumlahnya tiga tapi substansinya tetap satu menjadikan Bian ragu-ragu akan kebenaran Katolik. Selain itu di Katolik kata Bian, tidak memiliki aturan—(syariat, red) yang sesempurna Islam. ”Jika akan berdoa, maka bisa mengarang sendiri sesuai dengan keinginan kita, di Islam kan sudah ada yang harus kita hafal. Di Islam, jika masuk rumah ibadah harus suci, namun Katolik tidak. Habis kencing, berak pun dengan bebas bisa beribadah di gereja. Ini kan aneh,” papar Bian meyakinkan.

Ironisnya dan yang membuat Bian makin mantap memeluk Islam, di Katolik tidak ada aturan bagaimana menjaga penampilan (aurat) yang sesuai jika beribadah. Banyak wanita, kata Bian yang ke gereja dengan menggunakan pakaian you can see. ”Masak kalau ketemu dengan presiden atau bupati saja sopan, berhadapan dengan tuhannya kok malah nggak sopan,” katanya sambil ketawa.

Dengan berbagai latar belakang itulah, tak lama kemudian, ia bersyahadat di masjid dekat rumah dengan di bimbing oleh takmir masjid setempat. Reaksi keluarga dan sahabat Bian pun beragam, ada yang menolak dan tidak sedikit yang bersikap sebaliknya. ”Keluarga sudah menilai bahwa saya sudah dewasa, jadi penolakan dari keluarga tidak begitu keras, Alhamdulillah, ” kata Bian. Apa target selanjutnya setelah masuk Islam? Target Bian pun tidak muluk, untuk sementara ini hanya berkeinginan untuk belajar ngaji hingga lancar dan sholat lima waktu dengan rutin, tidak bolong-bolong,”Ternyata awal-awal masuk Islam itu berat ya, sholat shubuh itu yang paling susah. Tapi saya akan terus belajar dan belajar, kebenaran sejati memang ada di Islam ”pungkasnya.[]

Senin, 21 Januari 2008

Waspada dan Belajar Dari Kesalahan






Banjir Jatim pada awal tahun ini telah mendatangkan kerugian ratusan miliar rupiah. Kerugian ini terutama akibat terendamnya puluhan ribu hektare sawah, rusaknya infrastruktur, serta sarana danprasarana umum lainnya. Selain itu, terjangan banjiri di Jatim telah menelan puluhan korban tewas. Korban tewas akibat banjir ini tersebar di yang melanda 21 kabupaten/kota di Jatim dalam skala besar, sedang dan kecil.

Dan kini, tatkala penulis berkunjung ke salah satu lokasi korban Banjir di Desa Gedangan, kecamatan Maduran, Lamongan, pertanda pernah terjadi ada banjir besar masih cukup tampak. Bekas-bekas air dikaca beberapa bangunan hingga kini masih belum 100 persen bersih, sawah-sawah yang yang mati dan belum dikelola kembali juga menjadi bukti konkrit pernah terjadi musibah di tempat ini. Hanya saja, semangat untuk membangun perekonomian pasca banjir masih cukup tinggi. Para warga kembali berusaha agar asap dapurnya terus mengepul dengan membuat gentong, cowek, kendi dan handycraft khas daerah lainnya. Realitas ini sudah sepatutnya disyukuri semua pihak.

Banjir Jatim memang secara perlahan mulai surut dan aktivitas warganya juga dimulai kembali. Sekolah-sekolah sudah memulai kegiatan belajar-mengajar, intansi pemerintah sudah mulai bekerja dan kembali melayani masyarakat, dan yang terpenting pergerakan ekonomi sudah menuju kearah semula.

Lalu, apa yang segera dilakukan pasca banjir? Badan Meterologi dan Geofisika memperkirakan curah hujan masih akan tetap tinggi hingga medio Maret 2008. Dalam kondisi demikian, sikap waspada akan lahirnya banjir besar untuk kedua kalinya harus senantiasa ditingkatkan.
Kewapadaan akan datangnya banjir besar untuk kedua kali memang cukup wajar. Kenapa demikian? Tanpa bermaksud menakut-nakuti, banjir yang terjadi di pulau jawa penyebabnya utamanya adalah hutan yang semakin hancur dan hilangnya daerah resapan di pulau Jawa. Berapa sebetulnya sisa hutan di Pulau Jawa,ternyata ada perbedaan pendapat. Ada yang menyatakan hutan di Pulau Jawa tinggal 14%, ada yang bilang tinggal 10%, bahkan ada yang menyebut tinggal 4%. Satu hal, tak ada yang mengatakan hutan di Jawa tinggal 30%— batas minimum agar sebuah daerah aman dari bencana banjir dan longsor.
Pulau Jawa yang luasnya 13.404.500 hektare ini tengah menghadapi kondisi yang amat berbahaya karena daerah resapan dan hutan di Jawa kurang dari 10%—kalau tak mau dikatakan hanya 4% dari luas Pulau Jawa. Kerusakan lingkungan di Pulau Jawa bisa dilihat dari tutupan vegetasinya di berbagai lereng dan puncak-puncak gunung yang jadi sumber mata air sungai-sungai. Sebagian besar hutan di lereng, tebing, dan puncak gunung ditebangi. Lahan di pegunungan itu dipakai untuk perkebunan, vila, resor, dan tempat wisata. Berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan,lahan kritis di Jawa saat ini sudah mencapai lebih dari 2.481.208 hektare. Sedangkan lahan yang tertutup pohon hanya tersisa 4%. (Alikodra:2008)
Jika tidak dikelola dengan benar, bukan mustahil pulau yang dikenal paling maju dari segi sumber daya manusia dari pulau-pulau lain di Indonesia akan selalu diintai oleh bencana alam terutama beberapa kawasan Daerah Aliran Sungai. Jawa akan tenggelam di musim hujan dan kering kerontang di musim kemarau. Kini, kekhawatiran seperti itu sudah mulai tampak dengan meluasnya banjir di Pulau Jawa pada awal 2008 ini .Dengan rasa cemas, kita pun sedang menanti tanah-tanah di Jawa yang merekah karena kekeringan dahsyat di musim kemarau kelak.

Jangan Menyalahkan
Banjir sudah berlalu dan saatnya kita memperbaiki sikap atas kemungkinan ---bukan berharap-----musibah-musibah lain yang akan datang. Ketika bencana datang, umumnya kita cenderung menyalahkan sesuatu atau seseorang misalnya menyalahkan pemerintah, penebang hutan diri sendiri, orang lain, pemerintah. Tak ada gunanya mencari-cari siapa yang salah ataupun menyalahkan siapa-siapa. Tindakan menyalahkan akan lebih membuat kita fokus pada kepedihan dan bencana yang kita hadapi. Yang lebih penting adalah fokus pada upaya mencari jalan keluar dari masalah ataupun bencana yang ada.

Belajar dari kesalahan dan memperbaiki kesalahan tersebut merupakan langkah yang baik ditengah musibah yang dialami. Misalnya, para korban banjir kita selama ini sadar bahwa kita sering membuang sampah sembarangan, bisa dimulai memperbaiki kesalahan dengan membuang sampah pada tempatnya atau menyediakan tempat sampah di beberapa titik di rumah. Jika kita merupakan bagian dari penebang hutan liar, maka alangkah sangat elok untuk mencari pekerjaan lain yang tidak merugikan orang lain, apalagi hingga menjadikan nyawa orang lain sebagai taruhannya. Jika kita merupakan bagian dari pemerintah, akan lebih baik dengan menerapkan sanksi yang keras dan tegas terhadap siapapun yang merusak lingkungan dan memberikan pelayanan yang memuaskan bagi para korban banjir. []

Kamis, 03 Januari 2008

Pengakuan Korban Kristenisasi

Sabtu (29/12) kemarin, LMI menggelar kegiatan peresmian Rumah Sehati. Salah satu rangkaian kegiatan tersebut adalah pemeriksaan kandungan dan kesehatan gratis untuk umum. Berbagai macam peristiwa menarik menghiasi acara yang selenggarakan di Jalan Bratang Gede I, Surabaya. Salah satu peristiwa yang menyita perhatian pengunjung adalah kehadiran Kristin, (50)yang notabene meruapkan non muslim.


Surabaya, pukul 10 pagi seorang pemuda tanggung lengkap dengan anting-anting dan topi lusuh yang dikenakannya sedang menuntun seorang ibu berkulit putih, bermata sipit menuju tempat registrasi pemeriksaan kesehatan kemarin. Dengan sepenuh hati dan sabar, pemuda itu mengantar hingga ke tempat pemeriksaan.

“Ada keluhan apa bu? Ada yang bisa kami bantu?” tanya dokter Rumah Sehati dengan ramah. Dengan segera ibu itu mejelaskan hal-hal yang dirasakan dalam tubuhnya. Ibu yang mengaku bernam Kristin (50) itu merasa sudah beberapa tahun terakhir ini penglihatannya kabur dan pendengarannya mulai berkurang. Mau berobat ke Rumah Sakit pun juga tidak ada uang sepeserpun. ” Berangkat dari rumah kesini aja tadi nggak bawa uang sama sekali,” kata Kristin.

Selain inderanya mengalami gangguan, Kristin yang pemeluk Katolik juga divonis menderita kencing manis yang hingga kini juga belum ada pengobatan serius dari pihak keluarganya. Pihak gereja yang selama beberapa tahun menngung biaya hidup dan pendidikan bagi anak-anaknya juga sudah memutus dan tidak menanggung biaya hidup keluarganya. Suami yang diandalkan untuk mencari nafkah pun juga sering sakit-sakitan. Praktis, pemasukan sehari-hari didapat dari anak nya yang berprofesi sebagai penjual bumbu pecel.

Korban Kristenisasi
Dalam perbincangannya dengan saya, Kristin mengaku pernah didatangi seorang Katolik dari gereja daerah Ngagel, Surabaya. ”Sebagai penjahit saya harus melayani siapapun dengan baik tidak terkecuali orang kristen,” ujar wanita yang hingga kini masih ber-KTP Islam ini.

Setelah kedatangan tamu Kristen tadi, lanjut Kristen dirinya ditawari untuk pengajuan beasisiwa bagi keenam putra-putrinya. Kristin pun mengajukan proposal ke pihak gereja agar segera mendapat bantuan. Oleh pihak gereja ternyata disambut baik dan siapa memberikan cairan biaya pendidikan asal rutin pergi ke gereja setiap minggu. ”Sejak saat itu saya mulai rutin ke gereja dan setelah itu langsung diadakan pembaptisan buat saya, saya resmi masuk kristen tapi tetap ber KTP Islam hingga sekarang,” tambah Kristin dengan sedikit mengeraskan suara. .

Dengan masuknya Kristin ke Katolik, suplai dana pendidikan ke anak bungsunya pun berjalan lancar hingga kurang lebih 10 tahun. Anak bungsunya, Rio pun mampu bersekolah hingg jenjang menengah atas Sebagai kompensasinya, Krisin harus rutin pergi ke gereja mengikuti misa kebaktian di gereja Logos, kawasan Ngagel Suarabaya.
Rio(17) anak bungsunya yang berada disampingnya pun membenarkan pernyataan ibunya tersebut. ”Dari SD, saya mendapat santunan dari gereja Logos, cukup besar memang hingga kelas dua SMA,”ujar Rio menegaskan.

Kala Rio memasuki kelas dua SMA, pihak gereja sedikit demi sedikit menunjukkan gelagat kurang menyenangkan. Gereja tanpa sepengetahuan Kristin dan keluarganya memutus secara sepihak kucuran biaya pendidikan Rio. Hal ini membuat, keluarga Rio collapse dan dengan berat hati, Rio harus meninggakan bangku sekolah saat dirinya masih kelas dua. ”Sejak pemutusan biaya sekolah itu, saya juga tidak lagi kembali ke gereja, saya juga nggak ngurus lagi pengajuan lagi,” ujar wanita kelahiran Jember ini.

Rio mengatakan, sejak putus sekolah ia bekerja sebagai penjaja koran dengan penghasilan yang cukup minimalis. Namun, itupun ternyata tidak bertahan lama. Disebabkan pertengkaran dengan kawan penjual koran lain, ia memilih berhenti sebagai penjual koran eceran dan hingga kini mash menganggur. ”Gara-gara rebutan pembeli akhrnya kita beradu mulut dan lebih baik saya mengalah,” ujar Rio.

Kemungkinan masuk Islam

Kristin pun kini goyah keimanannya. Dikatakan Kristen tidak pernah ke gereja dalam dua tahun terakhir. Dikatakan Islam pun juga tidak. Apakah 25 Desember kemarin merayakan natal? Kristin mengaku tidak merayakannya. Demikian halnya dengan Idul Fitri, ia tidak merayakannya sama sekali disebabkan tidak ada uang untuk merayakan. Ketika ditanya adakah niat untuk memeluk Islam Kristin mengiyakan. ”Iya, kemungkinan saya akan memeluk Islam,”ujarnya lirih.

Di akhir perbincangan, Kritin menanyakan banyak hal mengenai beasiswa untuk anaknya, Rio. Dia berharap Rio kembali bisa mengeyam bangku sekolah yang ditinggalkannya. ”Saya nggak ingin anak saya jadi orang nggak bener, ya... Paling tidak hingga lulus SMA saja lah. Ketika ditawari apakah punya keinginan melanjutkan ke perguruan tinggi, Rio mengelak dan lebih memilih hanya sampai SMA[]