Senin, 21 Januari 2008

Waspada dan Belajar Dari Kesalahan






Banjir Jatim pada awal tahun ini telah mendatangkan kerugian ratusan miliar rupiah. Kerugian ini terutama akibat terendamnya puluhan ribu hektare sawah, rusaknya infrastruktur, serta sarana danprasarana umum lainnya. Selain itu, terjangan banjiri di Jatim telah menelan puluhan korban tewas. Korban tewas akibat banjir ini tersebar di yang melanda 21 kabupaten/kota di Jatim dalam skala besar, sedang dan kecil.

Dan kini, tatkala penulis berkunjung ke salah satu lokasi korban Banjir di Desa Gedangan, kecamatan Maduran, Lamongan, pertanda pernah terjadi ada banjir besar masih cukup tampak. Bekas-bekas air dikaca beberapa bangunan hingga kini masih belum 100 persen bersih, sawah-sawah yang yang mati dan belum dikelola kembali juga menjadi bukti konkrit pernah terjadi musibah di tempat ini. Hanya saja, semangat untuk membangun perekonomian pasca banjir masih cukup tinggi. Para warga kembali berusaha agar asap dapurnya terus mengepul dengan membuat gentong, cowek, kendi dan handycraft khas daerah lainnya. Realitas ini sudah sepatutnya disyukuri semua pihak.

Banjir Jatim memang secara perlahan mulai surut dan aktivitas warganya juga dimulai kembali. Sekolah-sekolah sudah memulai kegiatan belajar-mengajar, intansi pemerintah sudah mulai bekerja dan kembali melayani masyarakat, dan yang terpenting pergerakan ekonomi sudah menuju kearah semula.

Lalu, apa yang segera dilakukan pasca banjir? Badan Meterologi dan Geofisika memperkirakan curah hujan masih akan tetap tinggi hingga medio Maret 2008. Dalam kondisi demikian, sikap waspada akan lahirnya banjir besar untuk kedua kalinya harus senantiasa ditingkatkan.
Kewapadaan akan datangnya banjir besar untuk kedua kali memang cukup wajar. Kenapa demikian? Tanpa bermaksud menakut-nakuti, banjir yang terjadi di pulau jawa penyebabnya utamanya adalah hutan yang semakin hancur dan hilangnya daerah resapan di pulau Jawa. Berapa sebetulnya sisa hutan di Pulau Jawa,ternyata ada perbedaan pendapat. Ada yang menyatakan hutan di Pulau Jawa tinggal 14%, ada yang bilang tinggal 10%, bahkan ada yang menyebut tinggal 4%. Satu hal, tak ada yang mengatakan hutan di Jawa tinggal 30%— batas minimum agar sebuah daerah aman dari bencana banjir dan longsor.
Pulau Jawa yang luasnya 13.404.500 hektare ini tengah menghadapi kondisi yang amat berbahaya karena daerah resapan dan hutan di Jawa kurang dari 10%—kalau tak mau dikatakan hanya 4% dari luas Pulau Jawa. Kerusakan lingkungan di Pulau Jawa bisa dilihat dari tutupan vegetasinya di berbagai lereng dan puncak-puncak gunung yang jadi sumber mata air sungai-sungai. Sebagian besar hutan di lereng, tebing, dan puncak gunung ditebangi. Lahan di pegunungan itu dipakai untuk perkebunan, vila, resor, dan tempat wisata. Berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan,lahan kritis di Jawa saat ini sudah mencapai lebih dari 2.481.208 hektare. Sedangkan lahan yang tertutup pohon hanya tersisa 4%. (Alikodra:2008)
Jika tidak dikelola dengan benar, bukan mustahil pulau yang dikenal paling maju dari segi sumber daya manusia dari pulau-pulau lain di Indonesia akan selalu diintai oleh bencana alam terutama beberapa kawasan Daerah Aliran Sungai. Jawa akan tenggelam di musim hujan dan kering kerontang di musim kemarau. Kini, kekhawatiran seperti itu sudah mulai tampak dengan meluasnya banjir di Pulau Jawa pada awal 2008 ini .Dengan rasa cemas, kita pun sedang menanti tanah-tanah di Jawa yang merekah karena kekeringan dahsyat di musim kemarau kelak.

Jangan Menyalahkan
Banjir sudah berlalu dan saatnya kita memperbaiki sikap atas kemungkinan ---bukan berharap-----musibah-musibah lain yang akan datang. Ketika bencana datang, umumnya kita cenderung menyalahkan sesuatu atau seseorang misalnya menyalahkan pemerintah, penebang hutan diri sendiri, orang lain, pemerintah. Tak ada gunanya mencari-cari siapa yang salah ataupun menyalahkan siapa-siapa. Tindakan menyalahkan akan lebih membuat kita fokus pada kepedihan dan bencana yang kita hadapi. Yang lebih penting adalah fokus pada upaya mencari jalan keluar dari masalah ataupun bencana yang ada.

Belajar dari kesalahan dan memperbaiki kesalahan tersebut merupakan langkah yang baik ditengah musibah yang dialami. Misalnya, para korban banjir kita selama ini sadar bahwa kita sering membuang sampah sembarangan, bisa dimulai memperbaiki kesalahan dengan membuang sampah pada tempatnya atau menyediakan tempat sampah di beberapa titik di rumah. Jika kita merupakan bagian dari penebang hutan liar, maka alangkah sangat elok untuk mencari pekerjaan lain yang tidak merugikan orang lain, apalagi hingga menjadikan nyawa orang lain sebagai taruhannya. Jika kita merupakan bagian dari pemerintah, akan lebih baik dengan menerapkan sanksi yang keras dan tegas terhadap siapapun yang merusak lingkungan dan memberikan pelayanan yang memuaskan bagi para korban banjir. []

Kamis, 03 Januari 2008

Pengakuan Korban Kristenisasi

Sabtu (29/12) kemarin, LMI menggelar kegiatan peresmian Rumah Sehati. Salah satu rangkaian kegiatan tersebut adalah pemeriksaan kandungan dan kesehatan gratis untuk umum. Berbagai macam peristiwa menarik menghiasi acara yang selenggarakan di Jalan Bratang Gede I, Surabaya. Salah satu peristiwa yang menyita perhatian pengunjung adalah kehadiran Kristin, (50)yang notabene meruapkan non muslim.


Surabaya, pukul 10 pagi seorang pemuda tanggung lengkap dengan anting-anting dan topi lusuh yang dikenakannya sedang menuntun seorang ibu berkulit putih, bermata sipit menuju tempat registrasi pemeriksaan kesehatan kemarin. Dengan sepenuh hati dan sabar, pemuda itu mengantar hingga ke tempat pemeriksaan.

“Ada keluhan apa bu? Ada yang bisa kami bantu?” tanya dokter Rumah Sehati dengan ramah. Dengan segera ibu itu mejelaskan hal-hal yang dirasakan dalam tubuhnya. Ibu yang mengaku bernam Kristin (50) itu merasa sudah beberapa tahun terakhir ini penglihatannya kabur dan pendengarannya mulai berkurang. Mau berobat ke Rumah Sakit pun juga tidak ada uang sepeserpun. ” Berangkat dari rumah kesini aja tadi nggak bawa uang sama sekali,” kata Kristin.

Selain inderanya mengalami gangguan, Kristin yang pemeluk Katolik juga divonis menderita kencing manis yang hingga kini juga belum ada pengobatan serius dari pihak keluarganya. Pihak gereja yang selama beberapa tahun menngung biaya hidup dan pendidikan bagi anak-anaknya juga sudah memutus dan tidak menanggung biaya hidup keluarganya. Suami yang diandalkan untuk mencari nafkah pun juga sering sakit-sakitan. Praktis, pemasukan sehari-hari didapat dari anak nya yang berprofesi sebagai penjual bumbu pecel.

Korban Kristenisasi
Dalam perbincangannya dengan saya, Kristin mengaku pernah didatangi seorang Katolik dari gereja daerah Ngagel, Surabaya. ”Sebagai penjahit saya harus melayani siapapun dengan baik tidak terkecuali orang kristen,” ujar wanita yang hingga kini masih ber-KTP Islam ini.

Setelah kedatangan tamu Kristen tadi, lanjut Kristen dirinya ditawari untuk pengajuan beasisiwa bagi keenam putra-putrinya. Kristin pun mengajukan proposal ke pihak gereja agar segera mendapat bantuan. Oleh pihak gereja ternyata disambut baik dan siapa memberikan cairan biaya pendidikan asal rutin pergi ke gereja setiap minggu. ”Sejak saat itu saya mulai rutin ke gereja dan setelah itu langsung diadakan pembaptisan buat saya, saya resmi masuk kristen tapi tetap ber KTP Islam hingga sekarang,” tambah Kristin dengan sedikit mengeraskan suara. .

Dengan masuknya Kristin ke Katolik, suplai dana pendidikan ke anak bungsunya pun berjalan lancar hingga kurang lebih 10 tahun. Anak bungsunya, Rio pun mampu bersekolah hingg jenjang menengah atas Sebagai kompensasinya, Krisin harus rutin pergi ke gereja mengikuti misa kebaktian di gereja Logos, kawasan Ngagel Suarabaya.
Rio(17) anak bungsunya yang berada disampingnya pun membenarkan pernyataan ibunya tersebut. ”Dari SD, saya mendapat santunan dari gereja Logos, cukup besar memang hingga kelas dua SMA,”ujar Rio menegaskan.

Kala Rio memasuki kelas dua SMA, pihak gereja sedikit demi sedikit menunjukkan gelagat kurang menyenangkan. Gereja tanpa sepengetahuan Kristin dan keluarganya memutus secara sepihak kucuran biaya pendidikan Rio. Hal ini membuat, keluarga Rio collapse dan dengan berat hati, Rio harus meninggakan bangku sekolah saat dirinya masih kelas dua. ”Sejak pemutusan biaya sekolah itu, saya juga tidak lagi kembali ke gereja, saya juga nggak ngurus lagi pengajuan lagi,” ujar wanita kelahiran Jember ini.

Rio mengatakan, sejak putus sekolah ia bekerja sebagai penjaja koran dengan penghasilan yang cukup minimalis. Namun, itupun ternyata tidak bertahan lama. Disebabkan pertengkaran dengan kawan penjual koran lain, ia memilih berhenti sebagai penjual koran eceran dan hingga kini mash menganggur. ”Gara-gara rebutan pembeli akhrnya kita beradu mulut dan lebih baik saya mengalah,” ujar Rio.

Kemungkinan masuk Islam

Kristin pun kini goyah keimanannya. Dikatakan Kristen tidak pernah ke gereja dalam dua tahun terakhir. Dikatakan Islam pun juga tidak. Apakah 25 Desember kemarin merayakan natal? Kristin mengaku tidak merayakannya. Demikian halnya dengan Idul Fitri, ia tidak merayakannya sama sekali disebabkan tidak ada uang untuk merayakan. Ketika ditanya adakah niat untuk memeluk Islam Kristin mengiyakan. ”Iya, kemungkinan saya akan memeluk Islam,”ujarnya lirih.

Di akhir perbincangan, Kritin menanyakan banyak hal mengenai beasiswa untuk anaknya, Rio. Dia berharap Rio kembali bisa mengeyam bangku sekolah yang ditinggalkannya. ”Saya nggak ingin anak saya jadi orang nggak bener, ya... Paling tidak hingga lulus SMA saja lah. Ketika ditawari apakah punya keinginan melanjutkan ke perguruan tinggi, Rio mengelak dan lebih memilih hanya sampai SMA[]