Rabu, 05 Maret 2008

Zakat Sebagai Solusi Terbaik

Di bulan Ramadhan ini seruan agar umat Islam segera menunaikan kewajiban berzakat yang diperuntukkan bagi delapan golongan mustahiq zakat semakin gencar. Berbeda dengan empat rukun Islam lain, zakat sebagai sebagai salah satu rukun Islam memang memiliki ciri khas tersendiri karena zakat tidak hanya berdimensi vertikal– yaitu hubungan ibadah kepada Allah SWT – tetapi juga berdimensi horizontal yaitu hubungan ibadah terhadap sesama manusia.
Seruan ini pun ditanggapi positif oleh kaum muslimin. Semakin mendekati akhir Ramadhan, semangat masyarakat untuk membayar zakat semakin tinggi. Fenomena ini ditandai dengan menjamurnya jumlah muzakki yang membayakan zakatnya melalui sejumlah lembaga pengelola zakat. Ini merupakan sebuah kabar gembira tak terkecuali bagi dunia pendidikan. Dengan semakin banyaknya perolehan dana zakat oleh lembaga pengelola zakat, semakin tinggi pula dana yang bisa dialokasikan untuk sektor pendidikan.
Sektor pendidikan merupakan fokus garapan utama selain pemberdayaan ekonomi bagi hampir semua lembaga pengelola zakat. Oleh lembaga zakat, sektor pendidikan ini umumnya ditawarkan dalam berbagai bentuk program, seperti beasiswa, sentra pendidikan mandiri, upgrading guru dan sebagainya.
Potensi Zakat
Menyelesaiakan permasalahan pendidikan di Indonesia melalui zakat memang bukan hal yang mustahil bahkan justru sangat potensial untuk dikembangkan. Eri Sudewo seorang Social Entrepreneur sekaligus praktisi zakat pernah mengkalkulasi potensi zakat di Indonesia. Jumlah kaum muslimin adalah 180 juta. Jika separuh Muslim diasumsikan miskin, berarti ada 90 juta yang kaya.
Jumlah 90 juta Muslim kaya adalah data perorangan. Data jiwa ini harus dijadikan keluarga. Asumsikan dalam satu keluarga, diisi 3 anak dan ibu bapak. Angka 90 juta jiwa dibagi dengan 5 anggota keluarga. Maka kini ada 18 juta keluarga Muslim kaya di Indonesia.
Jika didasarkan pada kewajiban zakat Rp 100 ribu per bulan. Berarti penghasilan muzakki berkisar Rp 4 jutaan. Himpunan zakat terkecil dari potensi ini mencapai Rp 180 miliar per bulan yang dengan jumlah muzaki 10 persen dari 18 juta Muslim. Total setahun Rp 2,16 triliun. Lantas, jika 16,2 juta Muslim kaya mau berderma Rp 100 ribu, per bulan zakatnya Rp 1.8 triliun. Setahun mencapai zakat Rp 21,6 triliun. Sebuah angka yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Dari kalkulasi yang cukup luar biasa tersebut, terbayang nyata keutamaan zakat sebagai solusi. Zakat benar-benar menjadi instrumen orang-orang kaya untuk membantu mengatasi kebutuhan asasi orang-orang miskin. Zakat juga berfungsi menjaga keseimbangan kehidupan. Memutus kesenjangan ekonomi itulah yang menjadi salah satu hikmah dari kewajiban berzakat. Dengan demikian, maka bukan mustahil biaya sekolah penduduk miskin bisa digratiskan. Dan amanat UUD yang menyatakan bahwa 20 persen anggaran digunakan untuk pembiayaan pendidikan bisa tertutupi dengan zakat ini.


Namun, ironisnya kalkulasi tadi hanya sebatas angan-angan. Berbagai macam persoalan pelik masih terjadi sehingga mengakibatkan pengelolaan pendidikan masih compang camping. Permasalahan itu diantaranya, Pertama, saat ini potensi zakat yang sangat besar itu belum optimal pengelolaannya. Me¬¬nurut Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Zakat Nasional saat ini dari zakat hanya mencapai 10%, setahun dan hanya bisa terkumpul Rp. 1,7 triliun. Dengan dana yang cukup minimalis tersebut, tentu sangat sulit dibayangkan menuntut kemajuan pendidikan melalui zakat. Pasalnya, zakat tidak hanya dialokasikan untuk pendidikan saja, melainkan juga pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kegiatan-kegiatan dakwah lainnya. Semakin kecil persentase zakat yang terkumpul, otomatis persentase untuk pendidikan juga akan berkurang.
Kedua, masyarakat lebih suka untuk membayar zakat di masjid-masjid setempat yang menurut saya masih sangat konvensional dan memiliki jaringan yang terbatas dibanding dengan lembaga amil zakat profesional yang sudah memilki jejaring cukup luas baik lokal maupun nasional. Lembaga zakat merupakan metode yang paling mendekati dengan pengelolaan zakat di era Rosulullah SAW. Pada zaman nabi, zakat dikelola oleh negara yang dikenal dengan sebutan Baitul mal
Ketiga, masih minimnya political will dari pemerintah terkait dengan pengelolaan zakat. Dalam tataran payung hukum misalnya, yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia, pemerintah belum memberikan perubahan yang fundamental dalam menaikkan jumlah wajib zakat. Selain itu, dalam Pasal 9 disebutkan, dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya. Hal ini mengindikasikan, pemerintah seolah-olah memberi memberi pengawasan ketat kepada Lembaga Pengelola Zakat.
Dengan demikian, maka dibutuhkan sebuah sinergisitas antara masyarakat bawah, ormas Islam dan pemerintah untuk segera meningkatkan potensi zakat yang belum menyentuh orang kaya yang jumlahnya jutaan. Diharapkan, pengalokasian dana zakat pada sektor pendidikan mampu meringankan masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan.

Tidak ada komentar: