Kamis, 30 Oktober 2008

Jadilah Guru Berkarakter Qur’ani


Saat tulisan ini ditulis, sebuah media cetak terbesar di Jawa Timur menurunkan berita malam Grand Final Pemilihan Guru Ideal (PGI) Untukmu Guruku 2008. Dalam berita tersebut diinformasikan, dari seribu guru yang mendaftar, akhirnya terpilih enam finalis pada malam itu. Saat nama pemenang satu persatu dipanggil, suasana tegang berubah menjadi suka cita dan rasa syukur begitu pengumuman para pemenang. Bahkan, satu per satu guru yang dinyatakan sebagai pemenang langsung sujud syukur di panggung

Hajatan atau penghargaan seperti diatas saya kira patut untuk kita apresiasi dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun swasta di tanah air. Bukan persoalan karena banyak peminatnya, melainkan sebagai pemicu untuk memupuk rasa cinta terhadap guru. Guru harus senantiasa dihargai karena memang jasanya yang begitu besar membangun bangsa.

Dewasa ini, sebagai unsur yang berada di garda terdepan pendidikan, semakin banyak sebutan sanjungan yang diberikan kepada guru seperti “Guru pejabat mulia”, “pahlawan tanpa tanda jasa”, “guru sebagai jabatan profesional”, ’’guru itu digugu dan ditiru““guru sebagai sumber teladan”, “guru sebagai pengukir masa depan bangsa” dan sebagainya. Tentunya ungkapan-ungkapan tersebut merupakan upaya untuk memotivasi para guru dalam melaksanakan tugasnya.

Namun, pada kenyataanya pencitraan guru selama ini cenderung dianggap sebagai profesi kelas dua. Sebagian besar orang tidak mau menjadi guru, kecuali karena kepepet alias daripada menganggur. Ada anggapan seakan siapa pun yang sudah mengantongi ijazah sarjana bisa menjadi guru asal dia mau. Pekerjaannya juga mudah, hanya pagi datang, mengajar, siang sudah bisa pulang. Profesi guru cenderung dianggap gampang.

Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Tanpa guru, proses pendidikan akan timpang.

Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru. “No teacher no education, no education no economic and social development” demikian prinsip dasar yang diterapkan dalam pembangunan pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat bapak bangsanya yaitu Ho Chi Minh. Untuk itulah, jika pendidikan ini ingin terus berkembang pesat salah satu syaratnya menjadi guru yang berkualitas tinggi, tidak “kacangan” dan asal-asalan..

Bagaimana menjadi guru yang seperti itu? Believe it or not, menjadi guru yang high quality dan pada akhirnya bisa digugu dan ditiru tidaklah semudah membalik telapak tangan. Banyak variabel yang mendasari kenapa guru bisa digugu dan ditiru. Ada tiga prinsip yang setidaknya bisa terinternalisasi didalam jiwa tiap guru supaya menjadi lebih baik. Pertama, menjadikan Alqur’an sebagai landasan filosofis pendidikan. Falsasafah Al Qur’an mengkaji reasi-relasi antar sesama manusia, manusia dengan makrokosmos, manusia dengan sang pencipta. Dalam pengertian bahwa pendidikan berusaha memelihara individu dan pertumbuhannya. Al Qur’an memandang manusia sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia diantara makhluk-makhluknya dengan memberi perhatian yang besar kepadanya.

Kedua, perbaikan akhlak sebagai inti pendidikan. Pendidikan akhlak merupakan sisi lain dari pendidikan Nabi yang menjadi jiwa dari pendidikan muslim. Para pakar pendidikan Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran tidak sebatas memenuhi otak anak didik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Tujuan menanamkan pendidikan akhlak adalah menanamkan rasa fadillah (keutamaan) Islam menuju kehidupan yang santun dan bermartabat.

Mu’adz ibn Jabal menceritakan bahwa wasiat terakhir Nabi yang ia terima adalah ketika Muadz menyilangkan kaki diatas pahanya, Nabi menegurnya. “Wahai Muadz, perbaikilah akhlakmu terhadap manusia.” Anas Ibn Malik menceritakan, Rosulullah SAW berkata, “janganlah kamu saling marah, saling dengki dan jangan saling membelakangi. Jadilah kamu hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam.”

Ketiga, Alqur’an sebagai kurikulum. Karena Alquran merupakan landasan teoritik, maka prinsip-prinsip Al Qur’an membentuk faktor integral yang menyatukan materi kurikulum yang berbeda-beda. Dalam Al Qur’an tidak didapatkan istilah religius dan sekuler bagi cabang cabang ilmu. Seluruh subyek ilmu, termasuk ilmu-ilmu alam harus diajarkan dari visi Al Qur’an. Dikotomik ilmu, dengan demikian tidak dikenal dalam Islam.

Ketiga prinsip inilah yang saya kira perlu dipahami oleh para guru yang tiap tahun jumlahnya cenderung meningkat. Jangan sampai menjadi guru merupakan pilihan terakhir karena gagal masuk ke profesi lain yang mengibatkan kinerja kita akan asal-asalan dan tidak profesional di mata Allah. Guru tetaplah profesi mulia yang melahirkan para ulama dan umara di negeri ini. Maju terus wahai guru. []

Tidak ada komentar: