Sabtu, 29 September 2007

Memasung Hak Anak, Sanksi Harus Tegas

Drama penculikan Raisya Ali Said yang menyita perhatian publik termasuk presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla telah berlalu dengan happy ending. Tidak ditemukan indikasi penyiksaan ataupun intimidasi yang dilakukan para penculik terhadap Raisya. Raisya justru mendapat perlakuan sebagaimana umumnya anak-anak seusianya, dia diajak jalan-jalan dan hanya menderita penyakit cacar.

Namun, trauma pasca kejadian dipastikan menghantui bocah lima tahun itu dengan durasi yang bisa bervariasi. Korban penculikan umumnya akan menderita gangguan persepsi, kecemasan terhadap trauma lanjutan, halusinasi, perubahan kepribadian, mimpi buruk berulang-ulang, dan takut diculik lagi.

Terlepas dari Raisya, tragedi penculikan anak memang sepantasnya mendapat perhatian ekstra dari siapapun. Pasalnya, peristiwa demikian menyangkut nyawa manusia, masa depan anak dan beban psikologis orang tua. Selain itu, kisah Raisya merupakan bagian kecil dari rentetan kasus serupa yang dialami anak-anak terutama di kota besar seperti Jakarta. Selama bulan Agustus ini telah terjadi beberapa kali penculikan. Korbannya pun tidak hanya anak kecil saja.

Pada 6 Agustus 2007, Yalani diculik. Tiga hari kemudian, giliran Semi yang diculik di Tanjung Priok. Pada 14 Agustus 2007, Fitriani Pujiastuti (3 tahun), anak seorang tukang sapu kereta diculik di stasiun kereta Gondangdia. Korban dijual seharga Rp400 ribu. Pada 15 Agustus ada tiga kasus penculikan. Raisya Ali Said (5 tahun) diculik di kompleks AURI, Jakarta Timur.

Zainal, seorang pengusaha batubara juga diculik di Hotel Sheraton, Jakarta Pusat. Keluarga korban dimintai tebusan US$ 5juta. Erizka Prafitasari (16tahun) juga diculik pada hari itu. Siswi SMA ini diculik saat naik taksi dengan meminta tebusan Rp.50 juta. Dari semua peristiwa tersebut, patut disyukuri semua penculik bisa tertangkap.(Koran Tempo,22/8)

Angka penculikan yang tinggi menunjukkan betapa anak-anak memang rentan terhadap tindak kriminalitas. Korbannya bisa menimpa keluarga mana pun baik itu orang kaya maupun orang biasa. Penculikan terkadang juga menimbulkan korban jiwa seperti yang terjadi di pada 2003 di Jakarta dimana penculikan dilakukan satu keluarga Toni Buntung yang melibatkan istri, anak, dan menantu. Dari tujuh anak yang diculik, dua di antaranya dibunuh karena orang tua si anak tidak memberikan uang tebusan.


Pelanggaran


Aneka modus penculikan anak merupakan tindakan sadis yang melanggar kepentingan anak yang semestinya dilindungi. Seperti ditegaskan dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 4) disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dari sini dapat dipahami bahwa anak memilki legalitas untuk mendapat hak-haknya sebagaimana mestinya. Namun seperti yang lazim terjadi di negeri ini, peraturan ini pun hanya sebatas tulisan yang tercatat di kitab-kitab hukum para penegak hukum. Realisasi dari penegakan peraturan itu pun juga masih jauh dari harapan.
Ironis memang, sebagai bagian terkecil dari komunitas masyarakat , anak sering merasakan dan menjadi korban struktur sosial yang lalim. Hak-haknya kerap disunat. Hak mendapat perlindungan, hak memperoleh pelayanan pendidikan, hak memperoleh pelayanan kesehatan dasar, hak mendapatkan kasih sayang dan hak untuk mendapat perlakukan yang sewajarnya dari seluruh komponen masyarakat sering kali tidak terpenuhi secara memadai, termasuk memperoleh status yang seharusnya ia miliki. Kegagalan seorang anak untuk mendapatkan haknya disebabkan identitasnya sebagai anak tidak memiliki kekuatan hukum seperti orang dewasa.


Sanksi Tegas
Himbauan presiden SBY yang meminta para penculik agar segera melepaskan Raisya dengan jaminan keselamatan bagi para penculik menurut saya kontra produktif terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri. Hukum harus tetap ditegakkan dengan memberikan sanksi yang setimpal atas tindak penculikan tersebut. Tindakan penculikan sudah bisa dikategorikan tindak pidana murni. Pelaku bisa dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena telah melanggar UU No 23 tentang Perlindungan Anak. Himbauan presiden seharusnya dipahamai sebagai sebuah empati humanisme sebagai seorang ayah yang turut prihatin terhadap anak yang berhari-hari berada disarang penculik dengan nyawa sebagai taruhannya.

Jika para penculik ini dibiarkan bebas tanpa ada sanksi, maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga penculikan akan terus merajalela di tanah air. Hukuman berat akan menjadi shock terapy bagi para penculik agar tidak mengulang tindakan yang sama dikemudian hari. Orang tua pun juga tidak akan was-was terhadap kemungkinan penculikan yang menyita waktu, pikiran dan biaya. Pemerintah seyogyanya menerapkan hukuman yang konsisten terhadap pelaku penculikan sehingga ada efek jera dari pelaku kejahatan. Penculikan adalah kejahatan yang tidak bisa ditolerir karena meresahkan dan mengancam nyawa orang.

1 komentar:

dody_blokku mengatakan...

Tulisanmu cukup bagus dod. kudoakan dikau jadi pemimpin negeri ini. benahi negara ini. biar barang murah. Masak aku beli nasi goreng kemarin 6000, padahal di PKL sebelah kos, mahal bok.., sukses ya dod. oya gimana ke beasiswa ke Aussie. jadi diambil?

Nia, karmen