Minggu, 30 September 2007

Waspada Terhadap Track Record

Pemberantasan korupsi di Indonesia kembali menemukan momentumnya dengan dimulainya seleksi pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Seleksi ini merupakan taruhan besar bagi upaya pemberantasan korupsi. Pasalnya, upaya pemberantasan korupsi masih belum menujukkan hasil yang memuaskan.

Korupsi yang semula tersentralisasi pada elite-elite kekuasaan di era Orde Baru kini telah merata dari pusat hingga ke daerah, dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Praktik korupsi menjadi pemandangan umum, tak Cuma dilakukan oleh pejabat, melainkan oleh para pegawai di level bawah. Belum lagi kasus korupsi BLBI, konglomerat hitam, pejabat tinggi, mantan penguasa Orde Baru dan kroninya yang belum tersentuh hingga kini.

Menurut survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia masih masuk kategori negara korup. Dalam publikasi hasil survey, PERC menempatkan Indonesia di urutan kedua bersama Thailand. Sedangkan predikat negara terkorup di Asia, menurut survei, adalah Filipina. Pada survey yang sama tahun lalu, Indonesia berada di urutan pertama sebagai negara paling korup di Asia.

Sejalan dengan survey PERC, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menurut survey Transparancy International Indonesia (TII) semakin meningkat tiap tahunnya. Tahun 2005, IPK Indonesia 2,2, pada tahun 2006 mencapai 2,4.Korupsi di Indonesia (Rakyat Merdeka.com)

Kendati terjadi penurunan tingkat korupsi, seleksi pimpinan KPK tetap harus obyektif, transparan, dan berkualitas. Dan hal itu memang tidak semudah membalik telapak tangan. Beragam hambatan dan kepentingan politik akan mewarnai setiap kebijakan yang lahir dari lembaga super body ini.


Dengan demikian, menjadi urgen agar panitia seleksi mencermati track record masing-masing calon. Kalau calon tersebut seorang pengusaha atau mantan pengusaha, harus diselidiki apakah pernah terlibat manipulasi pajak atau praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam jumlah yang besar, berapa total kekayaannya dan dari mana saja harus rigid dan transparan. Kalau dia seorang polisi atau mantan polisi, harus diselidiki apakah tatkala mencapai puncak karier dengan jujur dan bukan karena suap seperti lazim terjadi di lingkungan kepolisian


Namun, secara umum ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari dalam menggali track record para calon. Pertama, anggota KPK bukan seorang birokrat dan harus berani melawan intervensi pemerintah yang setiap saat ”mengganggu” kinerja KPK.


Dalam hal ini KPK memiliki catatan buruk, misalnya dalam kasus mantan gubernur NAD, Abdulah Puteh. Perintah penonaktifan yang dikeluarkan oleh KPK agar Presiden memberhentikan sementara Puteh yang tersangku kasus pembelian helikopter tidak ditanggapi pemerintah. Presiden Megawati sama sekali tidak menjawab soal perintah KPK untuk memberhentikan sementara Puteh.


Kedua, KPK bebas dari aktivis atau mantan aktivis Partai politik. Berbicara persoalan Parpol, tentu tidak pernah lepas dari kepentingan jangka pendek yang menguntungkan salah satu golongan. Dengan dihapusnya aktivis parpol di KPK maka akan menghindari gesekan antar kepentingan. KPK pun akan lebih memiliki kredibilitas dimata masyarakat.


Ketiga, KPK bebas dari oknum Orde Baru. Hal ini penting sebab bagaimanapun citra orba yang sarat KKN selama ini belum pulih benar. Kultur Orba yang korup harus senantiasa dijauhkan dengan institusi penting dan strategis seperti KPK sebab diakui atau tidak, tikus-tikus kelas kakap juga lahir di era Orba.











Politisasi KPK di DPR


Tak bisa dipungkiri, proses pemilihan pimpinan KPK oleh DPR selalu diwarnai proses seleksi politik yang kental, karena DPR adalah lembaga politik. Tentunya dalam proses seleksi, kita berharap agar DPR betul-betul melakukannya secara transparan dan memberikan alasan yang jelas tentang kelulusan dan ketidak kelulusan para calon.


Inilah pertaruhan DPR dalam memilih para pimpinan KPK. Kesalahan dalam memilih akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan lembaga itu di mata masyarakat yang sangat berharap KPK mampu bekerja sesuai undang-undang. Saya tidak mempersoalkan dari mana para calon pimpinan KPK itu berasal, yang penting mereka memiliki integritas dan komitmen untuk memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Jangan sampai pimpinan KPK pilihan DPR justru akan melindungi kepentingan politik partai-partai yang berkuasa di DPR. DPR adalah pemegang keputusan terakhir dalam seleksi pimpinan KPK, sehingga sangat beralasan bahwa masa depan KPK ditentukan oleh proses seleksi pimpinan KPK di DPR.


Terungkapnya kasus korupsi KPU, dijebloskannya Abdullah Puteh ke penjara merupakan prestasi konkrit KPK tiga tahun terakhir. Diluar itu, masih berkeliaran kasus korupsi dengan angka triliunan rupiah yang hingga kini belum tersentuh. Korupsi DKP yang menyangkut tokoh-tokoh nasional juga menjadi PR besar bagi KPK yang baru. Pemberantasan korupsi yang terkesan tebang pilih diera sebelumnya harus menjadi bahan eveluasi untuk memilih pimpinan KPK yang lebih tangguh.





*Dody Firmansyah


Mahasiswa FISIP Unair dan


PPSDMS Nurul Fikri

Tidak ada komentar: