Minggu, 30 September 2007

Setelah Menang Lomba, Lalu Apa?

Lomba penelitian mahasiswa semacam Pimnas, LKTM, PPKM dan sejenisnya merupakan ajang kompetisi paling bergengsi bagi mahasiswa Indonesia. Di sini, hasil karya finalis dari perguruan tinggi se-Indonesia dinilai, dikritisi, diadu. Proses seleksi yang harus dilalui para finalis sangatlah panjang dan berjenjang. Mulai dari seleksi antar jurusan tiap fakultas, kemudian antar fakultas tiap perguruan tinggi, dan antarperguruan tinggi yang tergabung dalam satu wilayah.
Guna mempersiapkan hal itu, para mahasiswa pun harus merelakan diri untuk begadang, mencari referensi ke berbagai tempat, konsultasi ke dosen dan sebagainya. Konsekuensinya, kesehatan semakin kurang diperhatikan dan waktu nongkrong pun terpangkas.
Tidak masalah memang, pengorbanan wajib diperlukan untuk meraih obsesi meraih kemenangan. Setelah kemenangan teraih, what next? Prestise dan menjadi populer seantero kampus sudah pasti menjadi hal yang akan dialami oleh pemenang lomba. Namun, beberapa bulan berselang, kemenangan yang ditorehkan ternyata dilupakan, hilang ditelan prestasi mahasiswa lain dan yang paling utama, belum (sempat ) bermanfaat bagi masyarakat.
Hasil riset mahasiswa saya lihat hanya dinikmati oleh peserta lomba dan masyarakat kampus peserta lomba. Masyarakat tidak tahu menahu akan siapa pemenangnya dan apa yang diteliti karena publikasi di media massa juga minimalis. Padahal, masyarakat perlu tahu apa manfaat riset tersebut. Misalnya, biji lamtoro dalam penelitian seorang mahasiswa ternyata bisa mencegah dan mengobati kanker. Nah, hal ini seharusnya bisa dipublikasikan ke khalayak ramai, bagaimana detail penggunaan biji lamtoro agar bisa menjadi obat. Jika tidak, maka tidak ada artinya penelitian mahasiswa.



Revitalisasi Tridharma PT
Fenomena diatas membuktikan bahwa penelitian, pendidikan dan akhirnya pengabdian (Tridharma Perguruan Tinggi) belum bisa diterapkan seiring sejalan dan perlu direvitalisasi. Terkait dengan lomba penelitian ini, unsur pengabdian masih minim dilakukan oleh perguruan tinggi. Yang paling bisa dirasakan mungkin adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan tidak lebih dari tiga bulan. Diluar kegiatan tersebut, karya mahasiswa masih belum menyentuh kebutuhan stake holder. Seyogyanya, pengabdian masyarakat itu sekedar dilakukan untuk memenuhi formalitas akademik. Sebab, keberadaan perguruan tinggi harus membawa manfaat bagi masyarakat.
Sungguh ironis jika di dalam kampus kajian-kajian keilmuan begitu bagus, tapi penduduk sekitar kampus masih ada yang buta huruf dan terbelakang. Jadi, ada kesenjangan dan ketimpangan yang parah. Untuk itulah, langkah pengabdian masyarakat harus dilakukan tanpa menunggu momentum akademik seperti KKN.
Demi menjunjung tinggi semangat Tridharma dan agar hasil penelitian yang dimenangkan dalam perlombaan tidak mubazir, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh para kaum intelektual pemenang lomba. Pertama, mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Pemenang lomba sudah sewajarnya menuangkan hasil penelitiannya agar bisa dikonsumsi khalayak. Dengan publikasi yang baik, maka hasil riset tersebut bisa diterapkan masyarakat dan bermanfaat. Jurnal ilmiah ini juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan.
Kedua, membuat prioritas penelitian. Selama ini peneliti memang cukup menumpuk di Indonesia, tetapi tetap saja arah penelitian yang berkembang baik di universitas maupun di lembaga penelitian belum mampu menciptakan sebuah trade mark tersendiri apa yang menjadi kompetensi dan kebutuhan bangsa Indonesia. Berbeda dengan Singapura yang meskipun sudah maju dari sisi penelitian, Singapura tetap memiliki prioritas di bidang Bioteknologi, demikian juga dengan Kuba atapun India yang juga fokus pada Bioteknologi selain IT nya. Nah dengan demikian diperlukan sebuah prioritas, riset mana yang diperlukan masyarakat. Misal, ketika harga BBM naik bagaimana upaya agar ada substitusi bahan bakar yang lebih murah meriah.
Dengan dua hal tersebut, saya yakin mahasiswa tidak hanya menjadi peneliti an sich, melainkan sudah mampu menjadi agent of change demi untuk mencerdaskan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Yang tidak kalah pentingnya, fenomena umum yang menyedihkan dalam sebagian besar pameran dan perlombaan karya-karya ilmiah adalah sangat minimnya karya yang telah disiapkan untuk mendapatkan hak karya intelektual. Karya-karya orisinil dan segar dari mahasiswa ini tidak terlindungi. Keadaan ini bisa dianggap ilegal atau sangat rawan terhadap penjiplakan. Keadaan itu bukan saja gambaran mahasiswa peserta lomba. Di kalangan dosen pun, kepedulian untuk melindungi hak karya intelektual masih belum berkembang. Ada banyak alasan, di antara biaya dan proses yang rumit. Akan tetapi, mengingat bahwa di banyak universitas tersedia pusat pengembangan hak karya intelektual, layak kalau perlindungan atas hak karya intelektual mendapat perhatian terhadap karya-karya ilmiah.
Persolan tadi tidak ada terselesaikan jika peran pemerintah masih minim terhadap dunia penelitian. Pemerintah harus terus menerus proaktif dengan cara memberikan perlindungan hak terhadap hasil karya mahasiswa. Dengan begitu, para mahasiswa akan terlecut semangatnya untuk meneliti dan tentunya akan bermanfaat bagi rakyat.

Tidak ada komentar: